Kan, bener, sesuai dugaan. Gue dateng jam 6 pasti si Abim baru keluar rumah empat puluh lima menit kemudian, emang ini manusia satu leletnya udah 11 12 sama kukang. Temen temen gue yang lain, yang ledekin gue di chat, udah pada berangkat barusan sambil dadah dadah dengan muka tengilnya.
Setelah meredakan emosi karena seorang Abimanyu Tarangga, akhirnya keenam remaja tanggung itu sudah duduk manis di warung Bu Ida sambil menunggu seblak pesanan mereka datang.
“ALAH SIAAAAAAAH!” teriakkan Adit mampu membuat atensi orang orang sekitarnya berfokus padanya. Hari ini, hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa baru di SMAN 135 Bandung dan hari terakhir ini pun sekaligus menjadi hari dimana para siswa mendapat kelas baru.
Mobil yang dikendarai Damar sudah masuk ke dalam tol. Perjalanan mereka diiringi oleh suara radio yang berlomba dengan suara dengkuran Agam.
“Si Agam ngorok udah bisa ngalahin speaker mesjid.” sahut Aji yang duduk di depan bersebelahan dengan Damar. Damar hanya menggelengkan kepalanya. Bahkan tadi mereka berdua harus menggedor kamar Agam untuk membangunkannya.
Aji dengan gugup dan senyum kikuknya menatap semua makanan yang ada di hadapannya. Ini pertama kalinya ia makan di resto ini. Sering kali ia melewati restoran ini jika sedang mampir ke pusat perbelanjaan, namun hanya lewat, restoran ini terkenal selain karena rasanya yang enak, harganya yang mahal.
Aji hanya memperhatikan ibu yang sedang memasukkan baju baju milik Aryaan ke dalam tas besar. Tidak lupa perlengkapan yang lainnya ibu masukkan juga. Aryaan sudah selesai mandi, sudah selesai sarapan dan sedang duduk di atas stroller baby sambil memainkan teether. Ibu menatap Aji yang tengah duduk di atas kasur dengan tatapan sendu. Ibu menghela nafasnya, ia paham dengan apa yang Aji rasakan.
Aji melangkahkan kakinya mendekati sang ibu yang masih menatap tidak percaya ke arahnya.
“Bu …” ucap Aji pelan.
“AJI! Ibu ga pernah ajarin Aji buat ngelakuin hal hal kayak gitu. Sekarang jawab pertanyaan ibu. Siapa ibu dari anak kamu ini? siapa Aji?!” suaranya rendah namun bergetar, kentara sekali bahwa ibu sedang menahan emosinya.
“Aji saya benar benar berterima kasih banyak ya sama kamu, kamu mau menyisihkan waktunya buat ngajarin anak-anak saya.” Aji tersenyum sambil mengangguk tatkala Tante Renna berbicara kepadanya.
Sepulang kerja tadi, Aji datang ke rumah Tante Renna untuk memenuhi undangan makan malam bersama keluarganya. Selain Tante Renna, Nakula, dan Sadewa, ada juga suaminya yang ikut serta bergabung setelah akhirnya bisa pulang ke rumah.
Arjuna memandang hamparan laut di depannya. Ia datang di jam 5 subuh pagi, dimana pantai masih sangat sepi. Bukan sepi lagi, hanya Arjuna seorang diantara hamparan luasnya pantai Pangandaran. Jaket tebal telah ia gunakan, tidak lupa topi kesayangannya, hadiah ulang tahun dari Laksana dan Hendry.
Aji berlari dengan tergesa, kemeja yang ia kenakan keluar dari celananya, jaket yang ia gunakan, sudah berantakan tidak menentu. Peluhnya bercucuran, perasaannya, campur aduk.