; Berpisah

Aji hanya memperhatikan ibu yang sedang memasukkan baju baju milik Aryaan ke dalam tas besar. Tidak lupa perlengkapan yang lainnya ibu masukkan juga. Aryaan sudah selesai mandi, sudah selesai sarapan dan sedang duduk di atas stroller baby sambil memainkan teether. Ibu menatap Aji yang tengah duduk di atas kasur dengan tatapan sendu. Ibu menghela nafasnya, ia paham dengan apa yang Aji rasakan.

Ibu menghampiri Aji dan ikut duduk di sebelahnya.

“Aji sedih banget, ya?” tanya ibu dengan lembut sambil mengusap lengan Aji pelan. Aji mengangguk.

“Aji kan nanti masih bisa ketemu sama Aryaan, sekarang kan bisa video call jadi ga usah khawatir.” Aji menghela nafas kasar.

“Tetep aja bu, Aji belum mau pisah sama Aryaan.”

“Aji anaknya ibu, dengerin ibu ya. Ibu bawa Aryaan nanti ke rumah ibu bukan berarti bikin Aryaan sama Aji ngejauh, di sini Aji juga kan lagi usaha. Nanti pasti ketemu Ji.” ucap ibu menenangkan Aji.

“Apa Aji pindah aja ya? ikut ibu?” Ibu terkekeh pelan, Aji itu tidak berubah. Dulu juga saat dia memutuskan merantau, h-1 keberangkatan, imannya goyah. Ia bimbang apakah akan tetap merantau meninggalkan sang ibu, atau tetap di kampung halamannya bersama ibu. Sampai-sampai hari H berangkat pun Aji masih bimbang dan memilih bergelut di kasur.

“Iya Aji nanti pindah kerja di sana aja, tapi selesein dulu urusan di sini. Aji kan masih kuliah, masih lanjut kan? terus belum Aji juga masih kerja di sini, masa mau keluar gitu aja. Terus kan Aji juga mau cari tau Nadya, kalau urusannya udah selesai, ayo pindah sama ibu. Rezeki bisa darimana aja, siapa tau nanti Aji dapet kerjaan yang lebih baik. Sekarang Aji sabar aja dulu ya, nak.” Sekarang Aji sedikit tenang, ibunya benar, ia harus sabar barang sejenak.

Ibu kembali merapikan segala perlengkapannya.

“Ibu stroller baby-nya ga akan ibu bawa?” tanya Aji.

“Ga usah, di sana juga ada. Ribet kalau bawa sekarang semua, ibu kan naik bis. Bapakmu belum pulang soalnya.” Aji mengangguk. Ia sudah memesan taksi online untuk mengantar ibu ke terminal, dari terminal nanti ibu naik bis langsung menuju terminal Tasikmalaya, setelah itu ibu bisa naik angkot untuk sampai di rumahnya. Namun Aji sudah mewanti wanti agar ibu naik taksi online saja. Aji sudah bersiap, ia juga akan ikut mengantar ibu dan Aryaan sampai ke stasiun. Aryaan sudah berada di gendongannya, sudah tampan, sudah memakai topi, jumpsuit, dan sepatu.

“Bu udah dateng mobilnya, ayo!” ajak Aji.


“Hati hati di sana, jangan telat makan, kerja sama kuliah yang bener. Jangan macem-macem, Ji.” tutur ibu saat hendak menaiki bis.

“Aji mana ada macem-macem … anak ayah sini peluk dulu.” Aji meraih Aryaan yang sedang berada di gendongan ibu, ia peluk anaknya itu dengan erat. Enam bulan bukan waktu yang sebentar untuk menghabiskan waktu dengan Aryaan, bahkan belum apa-apa Aji sudah merasa rindu dengan Aryaan. Setelah dirasa puas, ia memberikan Aryaan kepada ibu.

“Ibu ini catatan imunisasi Aryaan jangan lupa dibawa pas nanti Aryaan imunisasi lagi ya.”

“Kamu kira ibu baru pertama kali ngurus bayi? kamu juga ibu urus dari bayi kalau lupa.” Aji cengengesan.

Setelah membantu ibu memasukkan koper dan tas besar ke dalam bagasi, ia juga menemani ibu dan Aryaan sampai ke tempat duduknya.

“Udah ah Ji sampe dianterin segala, sana pulang. Bukannya tadi lagi ngejemur? awas itu jemuran diangkat keburu hujan.”

“Iya iya bu.” Aji meraih tangan ibu dan menciumnya. Ia melambaikan tangan turun dari bis. Tidak lupa, tadi Aji sempat menitipkan ibu kepada supir dan kondektur bis, haduh Aji.

Aji kembali melambaikan tangan pada ibu dan Aryaan yang berada di balik jendela. Bis sudah mulai berjalan pelan, pandangan Aji tak luput dari jendela dimana ibu dan Aryaan terlihat. Namun, hal yang membuat Aji ingin menangis terlihat, Aryaan tiba-tiba menangis, ia sudah paham bahwa ia akan pergi jauh dari ayahnya. Tak kuasa melihat Aryaan yang menangis, Aji pun ikut menangis sambil terus melambaikan tangannya.

Aryaan dan Aji berpisah.