FLASHBACK
Aji berlari dengan tergesa, kemeja yang ia kenakan keluar dari celananya, jaket yang ia gunakan, sudah berantakan tidak menentu. Peluhnya bercucuran, perasaannya, campur aduk.
Rasa kaget dan bingung mendominasi.
“Halo? dengan Bapak Aji Genta Naraputra?”
“Iya, saya sendiri, ini siapa ya?”
“Kami dari Rumah Sakit Harapan Kasih, ingin memberitahu bahwa Ibu Nadya Laksmi Sasmita akan segera melahirkan, bapak sebagai wali dari Ibu Nadya bisa segera datang ke rumah sakit?”
Setelah mendapat telfon tersebut, Aji segera bersiap, meminta izin kepada Pak Mario karena ada urusan mendesak yang tidak bisa ia tinggalkan, menjalankan motornya bak orang kesetanan, tanpa sadar meninggalkan wajah wajah kesal dari pengemudi lain.
Sekarang, Aji sedang membungkuk memegang lututnya di depan ruang bersalin. Aji berjalan pelan menuju tempat duduk yang sudah disediakan. Sepi, hanya ada dirinya di ruangan.
Aji menunggu, dengan cemas. Hingga keluar seorang perawat dari ruang bersalin, tangannya di penuh dengan darah, begitupun bajunya. Ia terhenti sejenak ketika melihat Aji yang sedang duduk.
“Pak Aji?” Aji yang merasa terpanggil segera bangun dari posisi duduknya.
“Iya … Teme— Itu gimana udah selesai melahirkannya?”
“Pak Aji, saya mohon bapak tenang, tolong tetap berdoa, semoga Ibu Nadya dan bayinya sehat dan selamat ya.” setelahnya perawat tersebut berlari meninggalkan Aji yang tubuhnya mulai melemas.
Perasaannya tidak enak.
Seorang laki laki dengan pakaian serba hijau keluar dari ruangan, Aji segera berdiri dan menghampiri.
“Dok … bagaimana?”
Laki laki yang diketahui sebagai seorang dokter itu melepas maskernya, wajahnya menatap sendu Aji.
“Anaknya lahir dengan selamat Pak, laki laki. Selamat ya.”
Aji menghela nafas lega.
“Tapi Pak … maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Ibu Nadya … sudah tidak ada dikarenakan pendarahan yang hebat.”
Aji, hampir menjatuhkan badannya jika saja dokter tersebut tidak mendekati dan memegang kedua lengannya.
“Bapak yang kuat ya? ada anak Bapak yang membutuhkan Bapak.” Dokter tersebut berbalik masuk kembali ke ruang bersalin meninggalkan Aji yang sukses sudah menjatuhkan badannya sambil menangis.
“AJI!” teriak Agam dari kejauhan, ia berlari menghampiri Aji yang tengah duduk sambil menundukkan kepalanya.
“Aji gimana maksudnya lo punya anak gimana Ji gue ga paham.”
“Duduk dulu.” Agam mengangguk sambil duduk di sebelah Aji. Aji menceritakan semua, bahwa itu adalah anak teman satu pantinya, yang baru saja meninggal ketika melahirkan. Agam menepuk pundak Aji.
“Lo udah liat anaknya? Gue tadi udah ikutin instruksi lo buat siapin pemakaman.”
“Makasih Gam, sorry ngerepotin. Gue belum liat anaknya, gue daritadi masih di sini. Bahkan sampe tadi Nadya keluar ruangan buat di bawa ke ruangan yang lain, gue masih ga bisa gerak. Gam, lo tonjok gue coba.”
“Anjrit ngapain?”
“Ga apa apa, gue penasaran aja ini mimpi apa bukan.”
Agam menghela nafas pelan, ia ikut menyenderkan punggungnya. Ia sendiri juga kaget dan bingung, bahkan tadi ketika ia menerima telfon dari Aji, ia hanya ‘iya iya’ mengikuti perintahnya tanpa tahu detail ceritanya seperti apa.
“Aji, ayo liat anaknya dulu. Abis itu kita urus pemakamannya ya.” Aji bangkit dengan langkah gontai diikuti Agam dibelakangnya, mereka berjalan pelan menuju ruang perawatan bayi.
Pemakaman itu, hanya dihadiri oleh Aji, Agam, dan bapak bapak sekitar kostan Agam. Mereka ikut membantu, dan yang mereka tahu, bahwa yang meninggal adalah istri dari Aji.
Aji terduduk di sebelah nisan milik Nadya. Pandangannya kosong, semuanya benar benar terasa mimpi. Bahkan, ia dan Nadya belum sempat berbincang, Nadya sudah pergi meninggalkannya.
“Aji, ayo udah sore banget.”
“Sebentar lagi.”
“Dari tadi Ji, udah 2 jam. Gue tau lo lagi sedih lagi berduka, tapi ayo Ji, anak lo masih ada di rumah sakit, kasian Ji.”
Iya, Aji seakan teringat bahwa dirinya sekarang sudah ada tanggungan yang lain. Semuanya serba mendadak, termasuk kedatangan seorang anak ke dalam hidupnya.
Sungguh, Aji tidak tahu harus bagaimana kedepannya.