; Pencarian Pertama

Mobil yang dikendarai Damar sudah masuk ke dalam tol. Perjalanan mereka diiringi oleh suara radio yang berlomba dengan suara dengkuran Agam.

“Si Agam ngorok udah bisa ngalahin speaker mesjid.” sahut Aji yang duduk di depan bersebelahan dengan Damar. Damar hanya menggelengkan kepalanya. Bahkan tadi mereka berdua harus menggedor kamar Agam untuk membangunkannya.

“Jadi, destinasi pertama kita mau kemana Ji?” tanya Damar.

“Perumahan Gatot Subroto Residence.” Damar mengangguk, volume radio ia naikkan agar bisa menutupi suara dengkuran Agam.

“Itu rumah siapa?”

“Rumah orang tua angkatnya.”


Setelah hampir 5 jam perjalanan — diselingi macet — akhirnya mereka sudah tiba ditujuan. Mobil Damar masuk ke dalam perumahan, sebelum itu ia wajib lapor pada satpam yang berjaga. Setelah dipersilahkan, mereka mencari alamat rumah yang sesuai dengan yang Ibu Aji berikan.

Berputar kesana kemari, akhirnya mereka sampai di rumah no 7-9.

Agam baru bangun dari tidurnya, ia melihat bagaimana megahnya rumah di hadapannya. Bayangkan saja, itu 3 kavling rumah dijadikan menjadi satu, kurang besar apa lagi?

Begitupun Aji, ia terpaku melihat rumah yang mewah yang berada di sebelah kirinya. Dalam hati ia bahkan sempat mengatakan, beruntungnya Nadya diadopsi oleh orang tua sekaya ini.

“Gimana Ji? lo mau turun?” tanya Agam.

Sebenarnya Aji cukup ragu, masuk ke rumah sebesar ini rasanya segan, tapi bagaimanapun demi terungkapnya hal yang Nadya alami, ia harus turun dan langsung menanyakan kepada orang tuanya.

“Iya. Siapa yang mau nemenin gue turun?” Aji menolehkan kepalanya, memandangi teman-temannya satu persatu. Tidak ada yang berani menjawab.

“Anjir masa gue sendiri.” keluhnya.

“Jujur Ji, gue ciut langsung pas liat rumahnya. Lu aja dah, gue bantu doa dari sini.” ucap Agam.

“Gue jagain mobil.” timpal Damar cepat.

Aji berdecak, akhirnya ia turun seorang diri dan berjalan menuju gerbang. Ia menelan bel yang berada tepat di sebelah pintu gerbang. Tidak ada jawaban dari dalam sana. Benar benar ciri khas perumahan elit, sepi seperti tidak ada kehidupan. Aji kembali menekan bel sampai tak berselang lama, pintu gerbang terbuka. Menampilkan seorang bapak-bapak yang tak terlalu tua namun tak muda juga, berpakaian formal berwarna hitam. Ia menatap sambil menelisik Aji dari atas sampai bawah. Sepertinya ia satpam rumah ini.

“Siapa?” ucapnya dingin. Aji mendadak panas dingin di tempat ditanya seperti itu.

“Anu … mau bertemu dengan …”

Duh anjir tadi ibu kasih tau namanya di chat kok bisa lupa.

“Siapa?” tekan bapak satpam itu.

“Pak … Pak Pandu.” akhirnya ia ingat juga. Bapak satpam tersebut terdiam sebentar, sebelum akhirnya kembali bersuara.

“Udah buat janji?” Aji menggeleng, bagaimana caranya, no telfonnya saja ia tak punya, karena no telfon yang ibu beri sudah tidak aktif.

“Maaf ga bisa. Kalau ingin bertemu dengan Pak Pandu harus ada janji terlebih dahulu.” Ya dilihat dari semewah apa rumahnya, Aji juga sudah paham orang seperti Pak Pandu tidak mungkin asal menerima tamu.

“Sebentar aja pak, gabisa?” bapak satpam tersebut menjawab tidak dengan tegas.

“Emang urusannya apa kalau boleh saya tau?”

“Saya cuma mau nanya perihal teman saya, kebetulan teman saya ini anaknya Pak Pandu.”

Terlihat bagaimana bapak satpam itu mengkerutkan dahinya, ekspresinya berubah menjadi bingung, “anak?” tanyanya.

“Iya pak, namanya Nadya.” Mendengar nama Nadya terucap, bapak satpam membulatkan matanya, wajahnya mendadak tidak seseram sebelumnya.

“Kamu temennya Neng Nadya?” nada bicaranya pun berubah, tak sedingin sebelumnya. Aji mengangguk menjawab pertanyaannya.

“Tapi Neng Nadya udah ga ada di sini.” Aji tahu itu, sangat tahu.

“Iya pak saya tahu, cuma saya mau tau tentang—”

“Ada tamu?” suara berat dari arah belakang bapak satpam yang sedang berbincang dengan Aji itu terdengar. Bapak satpam segera membalikkan badannya. Aji melihat dan ia sangat meyakini bahwa itu Pak Pandu.

“Eh? iya Pak.” ucap bapak satpam dengan pelan. Pak Pandu berjalan dengan tenang menghampirinya.

“Ada apa dik? mau ketemu siapa?”

Aji meneguk ludahnya kasar.

“Pak Pandu, mau bertemu Pak Pandu.” jawabnya.

“Saya?” Pak Pandu menunjuk dirinya sendiri.

“Iya.” Pak Pandu melirik ke arah bapak satpam, degan gerakan matanya ia menyuruh bapak satpam itu pergi. Pandangannya kembali terfokus kepada Aji di hadapannya.

“Ada urusan apa kamu mau bertemu dengan saya?”

*“I … itu pak, saya mau bertanya tentang Nadya, saya tem—”

“Nadya?” Pak Pandu memotong ucapan Aji dan sukses membuat badan Aji semakin bergetar.

“Ada urusan apa antara kamu dengan anak tak tahu diuntung itu? Dia tidak ada di sini dan perlu kamu ingat, hari dimana dia pergi melangkahkan kakinya dari rumah ini itu berarti dia sudah bukan anak saya lagi.” suara berat, dingin, kecewa, sedih, dan marah terdengar di setiap untaian kalimat yang Pak Pandu ucapkan. Aji menangkap, kilatan sendu dibalik mata Pak Pandu yang Aji tak tahu, apa alasannya.