; PENGAKUAN AJI
“i … ibu?”
“Aji?! itu … anak siapa?”
Aji melangkahkan kakinya mendekati sang ibu yang masih menatap tidak percaya ke arahnya.
“Bu …” ucap Aji pelan.
“AJI! Ibu ga pernah ajarin Aji buat ngelakuin hal hal kayak gitu. Sekarang jawab pertanyaan ibu. Siapa ibu dari anak kamu ini? siapa Aji?!” suaranya rendah namun bergetar, kentara sekali bahwa ibu sedang menahan emosinya.
“Ibu, Aji jelasin semuanya tapi kita masuk dulu ke dalem ya bu. Ga enak sama penghuni kost yang lain.” sekarang, Aji sudah tidak punya pilihan untuk menjawab pertanyaan ibu. Bagaimanapun ia harus memberitahu kebenarannya.
Aji menidurkan Aryaan terlebih dahulu di kasurnya, lalu menyimpan barang bawaannya tadi sekaligus melipat stroller baby. Kegiatan Aji itu tidak luput dari pandangan ibu yang terus memperhatikannya. Aji beranjak untuk mengambil air minum dan ia berikan kepada ibu.
“Diminum dulu bu.” sahutnya.
Aji duduk di hadapan ibu, ia melipa kedua kakinya, pandangannya ia tujukan ke bawah, ada perasaan takut kala ia harus menceritakan semuanya. Nasi sudah menjadi bubur, ia sudah tertangkap basah seperti ini.
“Ibu, sebelumnya Aji mau minta maaf sama ibu. Aji minta maaf soalnya Aji udah nutupin ini semua sama ibu, tapi Aji ada alasan kenapa Aji ngelakuin itu semua. Ibu, sejujurnya, ini bukan anak Aji. Tapi ini … anak Nadya bu.”
Ibu menahan nafasnya seperkian detik. Terakhir ia berhubungan dengan Nadya mungkin kurang lebih tahun lalu, itu pun Nadya tiba tiba datang menanyakan kabarnya dan juga nomor Aji. Setelahnya tidak ada lagi kabar darinya.
“Nadya … udah nikah? Terus sekarang dia dimana? kenapa anaknya ada di kamu?” tanya ibu.
Aji menatap ibunya, ia mendekat, lalu menggenggam tangan sang ibu.
“Bu, apapun yang ibu dengar sekarang, ibu harus kuat ya?”
Ibu menatap Aji curiga, “maksud kamu apa Aji? Nadya kenapa?” Aji semakin menggenggam erat tangan ibu.
“Bu … Nadya udah ga ada bu. Nadya udah meninggal. Meninggal pas ngelahirin anaknya.”
Pecah tangisan ibu.
Aji memeluk ibu yang tubuhnya bergetar karena menangis dengan suara yang ditahan. Aji yang juga mencoba menenangkan ibunya dengan mengusap punggung ibu pelan, ikut menangis. Hatinya pedih mendengar tangisan ibu. Ia paham walaupun dia, Nadya, dan anak anak panti lainnya bukan anak kandung ibu, namun kasih sayang ibu benar benar tercurah begitu banyak. Ibu menganggap mereka sebagai anak kandungnya sendiri. Maka ketika mendengar bahwa Nadya sudah tidak ada, hati ibu mencelos, seakan sebagian jiwanya sudah tidak ada bersamanya.
“Nadya.” panggil ibu degan lirih.
“Anak ibu.” lanjutnya.
Sama seperti saat Aji ditemukan dulu, ibu menemukan Nadya di teras rumahnya. Ia ingat Nadya yang masih bayi merah itu disimpan di dalam dus dan diletakkan begitu saja. Nadya datang dua minggu kemudian setelah Aji. Nadya yang sejak kecil hanya ingin bersama ibu, bahkan Aji pun bersusah payah untuk mengajaknya bermain. Nadya diadopsi ketika dia beranjak naik ke sekolah menengah pertama.
Kala itu rasanya sedih, terutama ibu dan Aji. Tapi bagaimanapun, mereka harus merelakannya demi masa depan Nadya.
Seminggu penuh tiap malam ibu akan datang ke kamar Nadya, tidur di ranjangnya sambil menangis. Rasa rindu yang tak tertahankan kepada salah satu anaknya.
Lalu, bagaiman ibu bisa menerima kenyataan bahwa anak yang ia sayangi sudah tiada? Jika Aji tidak memeluk ibu, mungkin ibu sudah pingsan terkulai lemah.
“Aji … ibu mau ketemu Nadya, bawa ibu ketemu Nadya.” lirih ibu di sela sela tangisnya. Aji mengangguk cepat, ia akan menuruti kemauan ibu.
“Iya ibu, Aji pasti bawa ibu. Maafin Aji ya bu … maaf.”
Ibu melepas pelukannya dengan Aji, pandangannya teralih pada Aryaan yang sedang tidur dengan tenang. Ibu mendekati Aryaan perlahan, mengusap pipinya dengan lembut, air matanya masih bercucuran. Kalau boleh jujur, hatinya masih menolak percaya bahwa Nadya sudah tidak ada, namun, ini lah kenyataan yang inu harus terima.
“Siapa namanya Ji?” tanya ibu pelan.
“Aryaan bu. Aryaan Ethan Bimasena.”
Ibu mengangguk sambil menarik selimur Aryaan, menutupi seluruh tubuh mungil Aryaan.
“Ceritain semuanya ya Ji. Ibu pengen tau.”
Aji menceritakan semuanya, terkait Nadya yang tiba tiba menghubunginya dan mengatakan bahwa dirinya hamil. Aji juga menceritakan bagaimana ia tiba tiba ditelfon oleh rumah sakit bahwa Nadya melahirkan. Aji menceritakan semua sesuai keadaan tanpa ada satu hal yang ia tutupi. Aji juga menceritakan bagaimana selama ini ia mengurus Aryaan sambil bekerja.
“Maaf ya bu. Aji bukan ga mau ngasih tau ibu, tapi Aji dikasih amanah sama Nadya buat ga ceritain ke ibu. Terus juga Aji masih belum nemu petunjuk apa apa tentang siapa ayah dari Aryaan.” Ibu mengelus punggung Aji, anaknya yang satu ini memang memiliki hati yang bersih. Bagaimana Aji menerima Aryaan sebagai anaknya dengan legowo, bagaimana Aji mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mengurus Aryaan. Ibu benar-benar merasa bangga.
“Bu, Aji pengen ngurus Aryaan boleh? Aji udah anggep Aryaan anak Aji sendiri.” Ibu menggenggam tangan Aji.
“Aji, dengerin ibu nak, biarin ibu yang ngurus Aryaan, kamu fokus sama diri kamu sendiri ya?.”
“Tapi Aji pengen ngurus Aryaan bu.”
“Kamu punya masa depan Aji. Pikirin diri kamu sendiri, ya? kamu masih bisa anggap Aryaan sebagai anak kamu, tapi biarin ibu yang urus Aryaan dan kamu fokus sama apa yang mau kamu kerjain.”
Aji masih menatap Aryaan dengan lembut. Setelahnya ia berpaling ke arah ibu.
“Iya bu.” ucapnya pelan. Ibu tersenyum sambil mengusap punggung tangan Aji dengan lembut.
“Aji, tapi boleh ibu minta tolong?”
“Apa bu?”
“Tolong cari tahu apa yang terjadi sama Nadya ya nak. Bukan demi ibu, tapi demi Aryaan.”