What if…
Arjuna memandang hamparan laut di depannya. Ia datang di jam 5 subuh pagi, dimana pantai masih sangat sepi. Bukan sepi lagi, hanya Arjuna seorang diantara hamparan luasnya pantai Pangandaran. Jaket tebal telah ia gunakan, tidak lupa topi kesayangannya, hadiah ulang tahun dari Laksana dan Hendry.
Arjuna tersenyum sambil memegang erat beberapa buket bunga di tangannya.
“Gue dateng, teman teman.” sapanya.
Angin begitu kencang, jaket yang ia gunakan tidak bisa menghalau rasa dinginnya.
“Udah lama ya.” sambungnya.
Arjuna mulai menggoyangkan kaki kanannya, menundukkan kepala dengan tangan yang semakin erat menggenggam buket bunga. Ia mengatur nafas, menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, terus berulang hingga dirasa ia sudah mulai tenang.
Perlahan, ia kembali mengangkat kepalanya.
“Gue … kangen lo semua.” sebulir air mata mulai turun.
Tidak, Arjuna harus menahannya. Ia ingin berbincang dengan teman-temannya. Tolong, untuk kali ini saja.
“Gue … gue masih kangen kalian. Gue masih ngerasa kalian ada di sini sama gue. Gue …”
Gagal. Arjuna menangis.
Di tengah suara deruan ombak, Di tengah angin kencang yang menghilir, Arjuna menumpahkan semua rasa sesak di dadanya.
Butuh lima tahun lamanya untuk Arjuna benar-benar pulih.
Namun, sampai saat ini pemikiran itu masih selalu ada.
Andaikan, andaikan ia bisa menolong teman-temannya kala itu, andaikan ia tidak mencanangkan untuk pergi ke Pangandaran, andaikan … banyak perandaian yang semakin membuatnya menyesal.
Lima tahun lamanya, lima tahun Arjuna membayangkan semuanya. Membayangkan setiap detail yang terjadi jika dirinya dan yang lain masih bersama.
Ia membayangkan Hendry dan Laksana yang bertengkar, lalu Kaivan menyusun siasat untuk mengakurkan mereka kembali. Ia membayangkan Yasa yang sangat polos terkena hipnotis. Ia membayangkan kakak tertua mereka pergi KKN dan rumah berantakan karena ditinggali oleh ia, Laksana, Hendry, dan Yasa. Ia membayangkan bagaimana mereka sering berkumpul di dapur dan taman belakang. Ia membayangkan bagaiman mereka satu persatu lulus dan satu persatu meninggalkan rumah. Ia membayangkan mereka mengadakan reuni setelah lulus.
Arjuna terduduk di atas pasir. Semakin ia membayangkan, maka semakin pedih hatinya. Ia meraung merasakan kesedihan yang teramat dalam.
Semuanya hanya bayangannya.
Bayangan semu miliknya yang terasa begitu nyata.
Ia terbelenggu di dalam bayangannya sendiri
Butuh waktu lama agar Arjuna bisa keluar dari bayangannya. Butuh waktu lama agar Arjuna bisa bangkit menerima kenyataan, bahwa …
bahwa teman-temannya sudah tidak ada di sampingnya.
bahwa teman-temannya sudah berada di tempat terindah.
Mereka tidak meninggalkanmu Arjuna, mereka melihatmu dan mereka menjagamu dari atas sana.
“OMBAK! ADA OMBAK BESAR!” teriak Laksana
Arjuna berlari menuju ke daratan, ombak besar itu datang secara tiba-tiba. Dibanding yang lain, Arjuna lebih dekat jaraknya dengan daratan. Sesampainya di pinggir pantai, Arjuna membalikkan badannya.
Ia melihat,
melihat bagaimana teman-temannya terseret arus ombak.
Ia melihat,
melihat bagaimana tangan teman-temannya terangkat ke atas mencari pertolongan.
Namun, saat dirinya akan berlari ke tengah, ia ditarik oleh seseorang.
“Nak jangan nak, ombaknya besar nak,”
“ITU TEMAN TEMAN SAYA PAK!”
“Kalau kamu kesana kamu juga ikut keseret nak.”
“PERSETAN! SAYA MAU BARENG TEMAN TEMAN SAYA.”
Arjuna yang bersikukuh menyusul teman-temannya, namun tenaganya kalah oleh beberapa orang yang menahannya.
Tidak banyak yang bisa ia lakukan, Arjuna hanya bisa menangis dan berteriak melihat teman-temannya hilang terseret arus di depan matanya.