You Are Not Alone
[Author’s pov]
Selepas mendapat pesan dari Hendry yang mengatakan bahwa dirinya sudah kembali ke rumah, tangan Yasa yang sedang memegang ponselnya itu terjatuh, beserta ponselnya yang dengan lancar jatuh ke lantai.
Sekujur tubuh Yasa melemas kala mendapat pesan itu. Sekarang, ia benar benar sendiri.
Akhirnya waktu yang ditakuti oleh Yasa itu tiba, waktu dimana ia akan benar benar sendiri, di rumah itu.
Yasa tidak tahu harus berbuat apa, tidak, ia tidak menyalahkan Hendry karena tidak memberi tahu kepadanya, karena ia yakin bahwa Hendry memiliki alasan tersendiri.
Yasa hanya ...
Ia hanya tidak tahu sekarang harus bereaksi seperti apa. Setelah Kaivan yang pergi, Yasa mencoba untuk berusaha tegar, karena ia tahu satu persatu akan pergi, Yasa mencoba untuk tidak lemah di hadapan ketiga kakaknya yang lain, Arjuna, Laksana, maupun Hendry.
Namun, sekarang, ia sudah tidak bisa lagi menahan atau berpura pura kuat.
Pertahanan Yasa akhirnya kembali runtuh.
Yasa kembali menangis.
Sendirian, tanpa ada yang memeluknya kembali, tanpa ada yang menenangkannya kembali, tanpa ada yang menemaninya kembali.
Ia benar benar sendirian.
“Kak Kav ...”
Memorinya kembali menggambarkan wajah Kaivan, yang paling ia ingat ketika Kaivan merawatnya ketika sedang sakit.
Kembali ia mengingat bagaimana Kaivan yang selalu memaksanya sarapan atau makan sebelum ia berangkat ke kampus.
“Kak Teo ...”
Teo, yang selalu tiba tiba datang ke kamar Yasa di malam hari. Dengan alasan, ‘mau ngecek Yasa udah tidur apa belum?’
“Kak Wisnu ...”
Yang siap sedia jikalau Yasa sedang kesusahan, yang selalu bertanya tentang materi yang dirasa sulit bagi Yasa.
“Kak Arjuna ...”
Memorinya menggambarkan Arjuna yang sedang tersenyum lebar. Arjuna yang menjadi panutan Yasa karena kerja kerasnya yang tidak pernah pudar. Yang selalu bilang, ‘kalau liat Yasa, suka keinget adek di rumah.’ yang selanjutnya Yasa jawab, ‘kan Yasa juga adeknya Kak Juna di rumah. di rumah ini.’ Arjuna akan tertawa sambil mengangguk setuju.
“Kak Laksana ...”
Yang selalu tiba tiba masuk ke kamar dan tidur di sebelah Yasa. Kalau ditanya kenapa, alasannya ‘gue ga ada temen, Yas.’ padahal itu karena Laksa sedang rindu bundanya, dan Yasa yang akan mengusap pelan punggung Laksa, jika Laksa mulai memimpikan bundanya di malam hari.
Tapi diluar itu, Laksa adalah orang yang melindunginya. Saat di kampus Laksa akan dengan bangga mengatakan, ‘jangan ganggu Yasa! adek gue itu woy! gue pletak pala lo kalau berani ganggu dia!’
“Kak Hendry ...”
Yasa menangis semakin kencang ketika memorinya mengingat Hendry. Orang yang baik, sangat baik, menurut Yasa. Yang rela diam di rumah paling akhir, yang Yasa tau, bahwa sebenarnya Hendry memilih diam paling akhir disini karena dirinya. Karena Hendry tidak ingin Yasa sendirian di rumah ini.
Rasanya begitu sesak, tangisan yang Yasa rasakan kali ini begitu menusuk hati. Dan ini pertama kalinya Yasa menangis hingga bersuara.
Di rumah ini, di rumah sepi ini, yang terdengar hanya suara tangisan Yasa.
Setelah hampir satu jam Yasa menangis, ia sudah mulai tenang. Wajahnya sudah tidak karuan karena dipenuhi dengan air mata.
Yasa akhirnya menatap sebuah kotak dan juga kertas yang dilipat di atas meja.
Sepertinya kotak itu sudah ada sejak tadi, namun karena ia yang sibuk menangis, ia belum menyadari keberadaannya.
Yasa membawa kotak itu kepangkuannya, lebih dulu ia membuka kertas yang dilipat dua, ternyata bertuliskan sebuah surat, dan Yasa mulai membacanya.
Untuk : Yasa Dari : Kak Hendry
Yasa, kalau Kak Hendry boleh tebak, Yasa pasti abis nangis ya sekarang? karena Yasa akhirnya sendirian di rumah. Yasa, Kak Hendry minta maaf ya? maaf karena Kak Hendry ga ada disana, ga ada di saat Yasa menangis. Maaf karena Kak Hendry ga bisa nenangin Yasa, ga bisa nemenin Yasa. Maaf....
Yasa, ada beberapa hal kenapa Kak Hendry ga bilang kalau kakak harus pulang. Pertama, Kak Hendry ga mau Yasa memaksakan diri untuk pulang kesini hanya untuk mengantar Kak Hendry pulang. Yasa, Kak Hendry ga mau liat Yasa melihat kembali perpisahan, cukup di Laksana aja, cukup sampai akhirnya membuat Yasa jatuh sakit.
Kedua, Kak Hendry ga mau liat gimana Kak Hendry ninggalin Yasa sendirian, Kak Hendry ga mau liat gimana Yasa nangis dan Kak Hendry cuma bisa natap itu dari kejauhan, Kak Hendry ga mau.
Maaf kalau Kak Hendry ga bisa nemenin Yasa lama disana. Maaf Yasa.
Yasa, walau sekarang Yasa tinggal di rumah itu sendiri, tapi Yasa ga benar benar sendiri. Yasa ga pernah sendirian, ada kita kita yang selalu ada buat Yasa.
Maaf kalau ternyata perpisahan kita hanya bisa lewat surat, tapi Kak Hendry janji, kita akan bertemu di lain waktu.
Yasa, terima kasih ya? terima kasih karena sudah mau menjadi adeknya Kak Hendry.
Mungkin segini yang bisa Kak Hendry tulis, oh iya, Kak Hendry mau lanjut sekolah di Bandung, Alhamdulillah sudah diterima. Sampai jumpa kembali, Yasa.
Hendry Rahardja
Surat dari Hendry, kembali membuat Yasa menangis.
Pada akhirnya, surat itu tidak hanya dipenuhi oleh tulisan Hendry, namun juga oleh air mata Hendry yang menulisnya, dan juga Yasa yang membacanya.
Yasa,
That you are not alone I am here with you Though you're far away I am here to stay But you are not alone I am here with you Though we're far apart You're always in my heart But you are not alone