Yasa Sakit

Panik? pastinya. Kaivan, Teo, Wisnu, Hendry yang tadinya udah duduk di meja makan langsung berdiri pas denger kabar dari Laksa kalau Yasa badannya panas, mana katanya dibangunin ga bangun bangun kan.

Kaivan langsung masuk ke dalam kamar Yasa yang diikuti oleh Teo, Wisnu, dan Hendry.

Benar saja, setibanya mereka disana, Yasa dalam keadaan mata terpejam, keringat dingin keluar dari dahi dan lehernya.

“Kang, gimana?” Laksa terlihat panik karena ia yang pertama kali melihat keadaan Yasa.

Kaivan maju dan meletakkan tangannya di atas dahi Yasa. “Demam tinggi.” ucap Kaivan pelan.

“Gue ada termometer, bentar.” Wisnu berlari keluar kamar Yasa menuju kamarnya, mengambil kotak obat yang biasa ia persiapkan, jaga jaga kalau dirinya sakit atau apapun.

“Nih.” Wisnu langung memberikan termometer itu ke arah Kaivan, yang mana Kaivan langsung mengecek suhu tubuh Yasa.

“39,6.” ucap Kaivan.

“Tinggi Kav, mau ke dokter aja ga?”

Belum juga Kaivan menjawab, Yasa dengan susah payah mengeluarkan suaranya, “Eng...ga...u...sah.”

Semuanya memperhatikan ke arah Yasa yang tetap memejamkan matanya, namun dahinya berkerut.

“Yaudah gini aja, buat hari ini kita rawat Yasa dulu, kalau besok pagi masih ga turun panasnya. Baru kita ke dokter.” Ucap Kaivan memutuskan.

“Hen, bisa beliin bubur ga?” Tanya Teo.

“Dimana kang?”

“Itu yang di deket kanjat, ada tenda bubur kacang ijo kan, nah mereka juga jual bubur disitu.”

“Oke kang.”

“Gue anter Hen.” ucap Laksa dan mereka berdua segera keluar dari kamar Yasa untuk bersiap.

“Gue ada obat penurun panas juga nih Kav.” Wisnu memberikan kotak obatnya.

“Oke nanti abis makan gue kasih obatnya.”

“Kav, kompres dulu kali ya?” Teo menghampiri Yasa dan memegang dahinya.

“Boleh, pertolongan pertama untuk sekarang.”

“Yaudah, bentar gue siapin dulu.”


Kaivan meletakkan handuk kecil basah itu di atas dahi Yasa. Sepertinya anak ini kecapean, ditambah tadi pagi sebelum ke kampus, Yasa melewatkan sarapannya, lalu ia pergi ke kampus menggunakan motor tapi tanpa menggunakan jaket.

“Kang, ini buburnya.” Hendry memberikan bubur yang tadi ia beli, dan sudah dipindahkan ke dalam mangkuk.

“Makasih Hen. Kalian kalau mau makan, makan aja duluan, nanti gue nyusul.”

“Ga apa apa kang?”

“Ga apa apa lah, nanti keburu dingin, makan ya gih, ajakin yang lain. Gue mau ngasih makan Yasa dulu.”

“Iya kang.”

Hendry segera keluar dan memanggil yang lainnya untuk makan malam. Sedangkan Kaivan, masih di kamar Yasa.

“Yas, bangun dulu yuk? makan dulu sebentar abis itu minum obat.”

“Eung...”

“Yuk bangun pelan pelan, sini kakak bantu.”

Yasa mulai membuka matanya perlahan, mencoba beradaptasi dengan cahaya dan juga rasa sakit kepala yang mendera. Dengan perlahan, Yasa membetulkan posisinya dibantu oleh Kaivan.

“Kak...sama Yasa aja.” ucapnya perlahan.

“Udah sama kakak aja, kamu lemes gitu.”

Kaivan mulai membantu Yasa memakan buburnya. Namanya juga orang sakit, makanan yang masuk rasanya malah pahit, nafsu makan berkurang, yang ada cuma pengen tiduran.

“Udah kak.”

“Loh, baru sedikit ini Yas, tambah lagi ya? biar cepet sembuh.”

“Ga enak kak.”

“Satu suap lagi deh, abis itu minum obat, baru tidur lagi.”

Untungnya Yasa nurut, ia menyelesaikan satu suapan lagi dilanjut minum air putih dan obat yang sudah disiapkan. Yasa kembali menidurkan badannya, dan Kaivan kembali mengompres dahi Yasa.

Pintu kamar Yasa terbuka, menampilkan Laksa dengan membawa sepiring nasi beserta lauk pauknya.

“Nih kang makan dulu.”

“Repot amat sampe dibawain.”

“Santai, Yasa udah makannya?”

“Udah tapi ga habis, tapi ga apa apa setidaknya ada yang masuk ke perutnya.”

“Yaudah ini mangkok bekasnya gue bawa ke dapur ya kang.”

“Iya Sa, makasih ya.”