Wisnu — bagian II

[Wisnu’s pov]

Mama ga ngomong sepatah kata pun. Mama cuma ngeliat gue dengan tatapan yang ga bisa gue gambarkan. Mungkin sebagian berpikir kalau gue anak durhaka karena berani ngomong kayak gitu. Tapi, mereka ga tau, mereka ga ngerasain jadi gue kayak gimana. Mama bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju keluar.

Dan sebelum ia benar benar keluar dari rumah, gue mendengar ucapannya. Pelan namun tetap bisa gue dengar,

“Anak hebat, jangan menangis.”

Setelahnya ia keluar meninggalkan gue dengan sejuta tanda tanya.


“Nih minum dulu.” Kaivan memberikan secangkir teh hangat ke arah gue yang sekarang duduk di sofa. Anak anak yang lain ikut keluar dari dapur dan bergabung sama gue.

“Tidur gih, Nu.” Suruh Teo, gue mengangkat kepala memandangnya dengan tatapan penuh kebingungan.

“Ya kan abis mengeluarkan energi yang banyak biasanya capek ya? terus suka ngantuk gitu mending tidur aja. Biar badannya enakan.”

Gue tersenyum, beruntungnya gue karena mereka bukan orang yang suka memaksa, maksa buat gue ceritain kejadian tadi. Mereka lebih memilih membiarkan gue bercerita dengan sendirinya.

“Gue ga apa apa, dan kayaknya jauh lebih baik dibanding sebelumnya.”

“hm...udah lega kang?” Tanya Arjuna.

Gue mengangguk pasti.

“Walau mungkin gue keliatan ga sopan ya sama orang tua kayak gitu, tapi at least apa yang gue rasain bisa gue keluarkan.”

“Engga sih kang, menurut gue ya, maaf kalau kesannya menguping, tapi gue tadi denger ucapan lo, kang. Dan semuanya, apa yang lo ucapin itu diutarakan dengan sesopan mungkin. Karena menurut gue, kita juga punya hak kok buat ngomong apa yang kita mau, keluh kesah yang dirasa ke orang tua kita sendiri.” sambung Laksa.

“Lo hebat kang, lo hebat udah berani speak up kayak gitu, gue tau lo udah memendam ini sejak lama, dan sekarang saatnya lo mengeluarkan unek unek lo itu. Dan ya, gue bangga.” Hendry yang duduk di sebelah gue menepuk pundak sambil tersenyum.

“Kak Wisnu kalau ada apa apa cerita aja ya? kan ada kita disini. Jangan dipendem kak, ga baik hehe.”

Si anak bungsu sedang mencoba perannya menjadi dewasa.

“Tapi tadi mama langsung pergi, ga nanggepin apa yang gue ucapin.”

“Bukan ga nanggepin, dia butuh waktu buat menerima semuanya, Nu. Tunggu dulu ya? gue yakin apa yang lo ucapin itu nyentil hatinya, dan gue berharap setelah ini semua, mama lo bisa berubah dan ga nuntut lo ini itu.”

Iya Kav, gue juga berharap gitu, dan semoga aja semuanya sesuai dengan apa yang gue harapkan.

There are friends there is family, and then there are friends that become family