Sarah — Mark [Future]

image

POV Author

......kami mohon maaf dan sangat menyayangkan sekali karena kualifikasi yang dimiliki oleh pelamar lain lebih mendekati terhadap persyaratan yang kami cari. Terima kasih atas waktu yang telah saudara Sarah berikan kepada kami. Selamat malam.

Sarah menggenggam erat plastik belanjaan yang sedang ia bawa.

Seperjalanan pulang dari supermarket ke kostan, ia mendapat telfon dari salah satu HRD perusahaan yang sudah ia lamar. Setiap test sudah ia lalui dan ternyata hasilnya, mengeceeakan.

Dengan langkah gontai Sarah melanjutkan perjalanannya. Satu kabar barusan menguras habis energinya hari ini.

‘Kedepannya, gue harus gimana?’

—————————————————

POV Sarah

Mark is calling

Kebiasaan Mark di pagi hari, telfon untuk sekedar ngajak sarapan bareng atau memastikan gue yang udah bangun.

“Hm halo?” “Kamu sakit?” Tanyanya. “Engga. Ada apa?” “Sarapan bareng yuk sebelum aku berangkat ke kantor.”

Mendengar kata ‘kantor’ seperti ada sengatan di dalam tubuh gue, serius. Dan Mark...please ini masih pagi dan dia mengucapkan kata kata yang bikin mood gue langsung down.

“Engga. Kamu aja sendiri.” “Eh? Tumben? Kamu masak?” “Hm.” “Yaudah aku pulang kerja ke situ ya, nanti aku bawain makanan kesukaan kamu, atau kamu mau apa gitu? Biar nanti dijalan aku beliin.”

Biasanya perhatian Mark seperti ini membuat gue senang, tapi entah kenapa hari ini yang ada gue malah kesel. Gue memijat pelipis gue dengan pelan.

“Gausah.” “Hey kamu tuh kenapa deh? Coba cerita sini. Kan aku udah bilang kalau...” “Kamu tuh bisa ga sih berhenti nanya nanya terus??!! Aku tuh pusing aku tuh capek sama lagi pengen sendirian. Kamu ngertiin aku sedikit dong!!”

Gue meledak. Ini pertama kalinya gue marah sama Mark yang padahal, gue sadar, Mark ga salah disini.

Setelah gue bilang kayak gitu, Mark sama sekali ga jawab. Tapi telfon masih tersambung, mungkin dia shock denger ucapan gue tadi.

“Oh...oke...kamu butuh waktu. Aku tutup ya, tapi inget kalau ada apa apa bilang sama aku.”

Setelah telfon itu tertutup gue menangis.

Gue cuma merasa.....kecewa sama diri gue sendiri.

—————————————————

POV Mark

Udah seminggu tragedi gue dibentak Sarah. Jujur, waktu itu gue kaget, karena Sarah itu ga oernag bentak gue, marah pun jarang. Alhasil hari itu gue ga fokus selama kerja.

Pikiran gue melayang mencari cari kesalahan yang udah gue lakuin. Tapi hasilnya nihil. Bahkan hari sebelumnya kita masih ketemu pas pagi dan semuanya baik baik aja. Ga ada masalah.

Gue ga tau apa ini mendekati tanggal ‘merah’ nya tapi selama pacaran 5 tahun sama Sarah, dia itu tipe orang yang baik dalam mengontrol emosi.

Udah seminggu pula, Sarah ga bisa gue temuin. Dia selalu nolak dan selalu bikin alasan kayak capek lah, ngantuk lah, ga enak badan, ada urusan. Segala macem. Gue mau nyamperin tapi.....hampir tiap hari gue lembur.

Kalau kayak gini, gue ngerasa jadi pacar yang gagal buat dia. Gagal buat selalu ada disampingnya, gagal buat tahu kondisi dia yang sebenarnya, dan gagal buat dia jadiin sandaran.

Kayak hari ini, Hari Sabtu. Biasanya hari ini jadwal kita jogging bareng, tapi Sarah kembali menolak dengan alasan lagi ga mood buat olahraga. Dan pas gue bilang gue mau ke kostan dia, dia nolak abis abisan. Gue sadar, ada yang salah di dirinya.

Mau segimanapun ditolak, malem ini gue bakalan dateng ke kostannya.

—————————————————

POV Author

Tok...tok...tok

Sarah yang sedang tiduran dan tubuhnya diselimuti selimut ini mengacuhkan suara ketukan pintu kamarnya.

Tok....tok...tok

“Kalau mau makan, makan aja sana, gue udah makan.” Sarah pikir itu teman kostannya yang mengajaknya makan bersama, rutinitas malam minggu di kostannya.

Namun.....

Tok....tok...tok

Suara pintu diketuk kembali terdengar. Dengan terpaksa Sarah membuka selimutnya dan turun dari kasur.

“Siapa sih ganggu....”

Tepat ketika Sarah membuka pintu ia tidak meneruskan ucapannya.

Di depannya ada Mark, kekasihnya.

Dengan refleks Sarah menutup pintu kembali namun sayang, pintu tertahan oleh tangan Mark.

“Mark ngapain sih kan aku udah bilang ga usah kesini.”

“Buka dulu pintunya. Aku tau kamu lagi ada masalah. Cepet buka atau aku dorong!”

Sarah membuka pintunya dan menatap enggan Mark yang ada di hadapannya sambil membawa beberapa bungkus plastik, yang tentu isinya cemilan kesukaan Sarah.

“Astaga....Sarah! Kamu kenapa? Muka kamu kacau banget!”

Ya wajar...Sarah udah ga keluar kamar selama seminggu dan ga mandi. Makanan ia pesan delivery, selesai makan kembali tiduran di kasur.

Seperti sudah tidak ada semangat.

“Kamu mau apa?”

“Aku mau kamu bilang sama aku, kamu kenapa.”

“Aku ga kenapa kenapa.”

“Ga mungkin. Kamu kira aku kenal kamu itu satu dua hari doang, Sar? Engga. Kita udah kenal dari SMP dan pas kelas tiga SMA kita mulai pacaran. Aku tau sifat kamu, aku tau apa yang lagi kamu sembunyiin dari aku.”

Sarah terdiam. Ia enggan menjawab apapun, karena jujur rasanya benar benar malas, ia merasa sudah tidak tahu lagi akan seperti apa, dan melakukan apa.

“Pake jaketnya.”

“Ngapain?”

“Pake aja cepetan.”

Dengan menurut Sarah mengambil jaket di dalam lemarinya.

“Ini. Simpen dulu, cemilan yang kamu suka.”

Sarah menyimpan bungkusan plastik itu di sebelah tempat tidurnya. Ia kembali ke arah pintu kamar.

“Terus?”

Bukannya menjawab, Mark menarik tangan Sarah keluar. Ia menutup pintu kamar dan menguncinya.

“Jalan jalan malem.”

—————————————————

“Kok jalan kaki? Bukan naik motor?”

“Kita perlu bicara, emangnya kalau di motor bisa sambil ngobrol?”

Dan berakhir mereka berjalan kaki ke arah taman yang tidak begitu jauh dari kostan Sarah.

Mereka duduk di bangku taman, karena malam minggu, taman menjadi cukup ramai dikunjungi banyak orang.

“Aku mau beli minum dulu di minimarket itu, mau nitip apa?”

“Engga.”

“Ok susu vanila.”

Sarah menatap Mark dengan wajah kesal. Kebiasaan. Selalu memaksakan kehendaknya sendiri.

Tidak begitu lama, Mark datang dengan membawa kopi hangat untuknya dan susu vanila untuk Sarah.

“Nih diminum.”

Sarah menerimanya, menusukkan sedotan lalu meminumnya perlahan. Diantara keduanya belum ada yang berani berucap satu pun. Masih asyik dengan pikirannya masing masing.

10 menit terlewati dengan keheningan.

“Ada apa?” Akhirnya Mark membuka suaranya.

Yang ditanya memilih diam daripada harus menjawab. Entah rasanya seperti ia bingung untuk menceritakan apa yang ia rasakan atau menyimpannya sendiri.

“Sar, kamu tau ga sih kemarin kemarin aku kalut? Bahkan selama di kantor pun aku ga fokus.”

“Kenapa?”

“Gara gara kamu.”

“Aku?”

Mark mengangguk, “Iya. Karena kamu yang tiba tiba ga mau ketemu aku, susah dihubungin, bikin aku mikir aku udah ngelakuin kesalahan yang begitu besar sama kamu. Semakin aku mencari kesalahan aku itu apa, yang ada malah ga ketemu, Sar. Terus disitu aku ngerasa gagal, ngerasa gagal buat jadi seseorang yang selalu ada buat kamu.”

Sarah menundukkan kepalanya. Dalam hati ia berkata bahwa ini bukanlah salah Mark. Sama sekali. Yang salah itu ada dalam dirinya.

Tanpa dirasa, setetes air mata jatuh mengalir di pipinya. Dengan cepat, Sarah mengusapnya.

“Sar, kamu tau ga sih alasan manusia itu adalah makhluk sosial? Karena ada keadaan dimana dia butuh orang lain di dalam kehidupannya. Apapun itu alasannya. Dia akan membutuhkan orang lain itu. Ada yang membutuhkan pertolongan karena ia sedang sakit, ada yang membutuhkan pertolongan membetulkan alat yang rusak, ada yang membutuhkan pertolongan untuk mengajarinya suatu hal, dan ada yang membutuhkan pertolongan untuk......berbagi cerita, membagi bebannya agar ia tidak merasa berat memikul beban itu sendiri.”

Sarah masih menundukkan kepalanya dengan air mata yang semakin banyak keluar.

“Dan aku disini, Sar. Siap menjadi seseorwng yang kamu butuhkan ketika kamu sudah lelah berdiri sendiri. Kalau kamu mikir berbagi beban denganku adalah suatu yang merepotkan, maka berbeda denganku, aku akan merasa senang, karena itu artinya kamu mempercayakan tanganmu untuk aku genggam.”

“Mark....”

“Hm?”

“Kenapa sih hidup aku kayak gini?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Sarah.

“Kenapa sih......aku tuh gagal terus? Aku tuh mau jadi apa nanti? Apa sampai kedepannya aku gini terus. Kamu tau ga sih? Aku ngerasa jadi orang bodoh karena berkali kali gagal. Aku tuh ternyata ga bisa apa apa. Ga ada yang bisa aku banggain dari diri aku sendiri, Mark. Ga ada satupun.”

Mark memilih menarik perempuan di sebelahnya itu kedalam pelukannya. Mengusap punggungnya perlahan.

Sekarang ia paham, perempuan di dalam pelukannya ini kacau karena pikirannya sendiri, kacau mengkhawatirkan hal di masa depan, terus menyalahkan diri sendiri, dan merasa dirinya tidak berguna.

“Sar, gagal itu bukan berarti bodoh, bukan berarti kamu ga bisa apa apa. Kalau aku bilang kegagalan itu keberhasilan yang tertunda bosen ya? Hehe jadi aku mau bilang, kalau kamu dihadapkan kegagalan dalam suatu hal, maka kamu harus yakin kalau hal itu bukan lah yang terbaik buat kamu. Maka kamu harus yakin, bahwa kamu sedang dilindungi oleh Tuhan dari suatu hal yang tidak baik. Kalau kamu selalu memandang kegagalan itu sebagai hal yang negatif, maka pikiranmu akan dipenuhi spekulasi spekulasi negatif pula. Coba kita sekali kali memandang hal dari perspektif yang berbeda.

Coba kita liat bahwa kegagalan itu sebagai hal yang positif, yang bisa membuat kamu berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Yang bisa membuat kamu lebih termotivasi untuk kedepannya.

Wajar kalau kamu merasa sedih, tapi tidak wajar jika kesedihan itu berlarut. Wajah kalau kamu mengkhwatirkan masa depan, tapi kamu harus tau, Tuhan memiliki rencana yang lebih indah yang sedang dipersiapkan sebagai hadiah atas kesabaranmu selama ini.”

Masih dengan posisi saling memeluk, Mark kembali melanjutkan ucapannya.

“Terkadang semesta mematahkan rencana yang sudah kita persiapkan, tapi hal itu lah tantangannya. Disaat semesta menolak apa yang kamu harapkan, maka apakah kamu akan tetap berdiri kokoh menghadapinya atau memilih menyerah? Semakin kamu kuat untuk menghadapinya maka semakin besar pula keajaiban yang akan datang.

Dan yang harus kamu ingat, ada aku disini. Kamu bisa cerita semuanya ke aku, jangan pernah merasa sendiri, jangan pernah memendamnya sendiri, karena itu.....bikin aku sakit liatnya.”

Sarah melepaskan pelukan Mark. Dengan wajah yang sudah dipenuhi air mata ia menatap Mark.

Ia merasa malu dan bersalah telah mengabaikan Mark selama seminggu ini, harusnya ia sadar, ada seseorang yang siap menemaninya, ada seseorang yang siap membantunya untuk menghadapi ketakutannya ini.

“Mark....”

“Kamu boleh nangis sekarang, tapi besok harus udah senyum lagi ya. Jangan takut ya, semuanya akan baik baik aja. Nih pegang tangan aku.”

Sarah menggenggam tangan Mark.

“Mari kita hadapi bersama sama, Sarah. I love u.

“Mark...terima kasih. I love u too.

-fin-