Sampai Jumpa Kembali, Yasa Kanigara
[Author’s pov]
Yasa memperhatikan sekeliling rumahnya, ia sudah menutup semua furniture di rumah ini dengan menggunakan kain putih. Hari ini ia akan pergi dari rumah, karena waktunya di rumah ini sudah selesai.
Yasa sudah harus keluar dan menyambut kehidupan yang baru.
Ada rasa tidak rela untuk meninggalkan rumah yang dipenuhi dengan memori selama masa perkuliahannya. Jika suatu saat ada yang bertanya masa apa yang paling indah? maka Yasa akan menjawab dengan yakin bahwa masa perkuliahannya yang paling indah.
Ia bisa bertemu dengan orang orang yang baik. Ia bisa merasakan berbagai pengalaman, entah yang buruk atau yang baik. Ia bisa merasakan bahwa ikatan persahabatan itu ada nyatanya. Ia bisa merasakan bahwa orang lain bisa menjadi saudara. Ia bisa merasakan bahwa ternyata ... setelah adanya pertemuan akan ada perpisahan.
Banyak sekali hal yang sudah terjadi yang bisa Yasa ambil pelajarannya. Dan semua itu terjadi di rumah ini, di rumah yang berisikan lima kamar, di rumah yang awalnya dihuni oleh tujuh orang pria. Dan sekarang, rumah ini hanya akan diisi oleh barang barang peninggalan mereka. Barang barang yang juga menjadi saksi bisu bahwa mereka pernah menciptakan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
Yasa berjalan ke arah kamar Kaivan dan juga Teo, ia membuka pintunya. Barang barang Kaivan dan Teo yang sengaja ditinggalkan masih ada, tempatnya tidak berubah sejak ditinggalkan oleh sang pemiliknya. Namun sekarsng sudah ia tutupi dengan kain.
Di pandangan Yasa, tergambar bayangan Kaivan dan juga Teo, Kaivan yang sedang belajar di meja yang tersedia, dan Teo yang sedang tiduran di kasur sambil memainkan ponselnya.
“Kak Teo, Kak Kav ...” panggilan Yasa itu membuat kedua orang yang namanya dipanggil menolehkan pandangannya ke arah Yasa, mereka berdua tersenyum melihat Yasa.
Tidak, Yasa tidak ingin menangis, ia sudah cukup kuat kan? maka Yasa memilih menutup pintu itu, dan pandangan keduanya hilang. Yasa beralih ke arah kamar Hendry dan Arjuna.
Sama seperti sebelumnya, ketika Yasa membuka pintunya, terlihat Arjuna yang sedang memainkan gitarnya di lantai beralaskan karpet tipis, dan Hendry yang duduk di atas kasur yang ikut bernyanyi, walau nadanya tidak pas dengan iringan merdu gitar Arjuna.
“Kak Arjuna, Kak Hendry ...” Keduanya menghentikan aktivitasnya dan mengalihkan pandangan mereka ke arah Yasa seraya tersenyum.
Yasa tidak akan kuat untuk bertatapan dengan mereka dalam waktu yang cukup lama, maka segera Yasa menutup pintunya. Ia menghela nafas sebentar.
Yasa berjalan ke arah tangga, menaikinya dan berhenti tepat di kamar Wisnu. Ia membukanya, terlihat Wisnu sedang memegang kertas sambil berjalan jalan, sepertinya ia sedang menghafal untuk ujian. Mulutnya terus mengucapkan kata kata, dan ketika Wisnu lupa, ia akan berhenti, melirik ke arah kertas yang di pegangnya, lalu kembali melanjutkan hafalannya.
Yasa tersenyum kecil, bahkan di bayangannya sekarang, Wisnu tetap menjadi seorang yang rajin.
“Kak Wisnu ...” Yasa memanggilnya, Wisnu yang sedang berjalan memunggungi Yasa itu berhenti, ia membalikkan badan dan menatap Yasa, lalu tersenyum kecil melihat sang adiknya yang ada di pintu sana.
BRUK!
Yasa tersadar akan suara kencang yang muncul dari kamar Laksana. Ketika Yasa akan menutup pintu kamar Wisnu, ia melihat sekilas, Wisnu sudah tidak ada, Wisnu sudah hilang dari pandangannya.
Yasa menutup pintu kamar Wisnu dan beralih ke kamar Laksana, dibuka pintunya dan terlihat Laksana yang sedang mengaduh kesakitan, sepertinya baru terjatuh dari atas kasur.
Suara tadi ternyata suara Laksa jatuh.
Yasa masuk ke dalam kamar Laksana berniat membantu, “Kak Laksa ...” Laksana menolehkan arah pandangannya ke arah Yasa.
Namun, belum juga Yasa sampai di dekat Laksana, bayangan itu sudah lebih dulu menghilang.
Lalu Yasa mendengar suara riuh dari luar kamar. Yasa segera keluar dari kamar Laksa dan menutup pintunya.
Di depannya terlihat Kaivan, Teo, Wisnu, Hendry, dan juga Arjuna yang berlarian memasuki kamarnya, iya kamar Yasa.
Yasa mengikutinya dan melihat dari luar kamar.
Bayangannya memperlihatkan keadaan ketika pertama kali Yasa sakit, dan kakak kakaknya menunjukkan raut wajah cemas.
Beberapa dari mereka hilir mudik ke luar, ada yang membawakan kompresan, obat, bahkan bubur. Saat itu memang kesadaran Yasa tidak begitu baik, ia tidak tahu bahwa ternyata keadaan rumah cukup panik seperti ini.
Bayangannya hilang ketika Kaivan menutup pintu kamar Yasa.
Yasa mengusap matanya yang ternyata sudah basah. Ia melirik ke arah jam yang ada di tangannya.
“Udah harus pergi.” ucapnya pelan.
Yasa berjalan turun ke lantai bawah. Ia berjalan ke arah pintu keluar. Kopernya sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya. Dan sebelum ia benar benar meninggalkan rumah, Yasa sekali lagi menolehkan kepalanya ke belakang.
“Terima kasih, karena sudah menjadi bagian yang paling indah di hidup Yasa.”
Yasa menutup pintu dan menguncinya. Yasa berjalan ke luar pekarangan rumah, tidak lupa menutup dan mengunci garasi, lalu masuk ke dalam mobil. Mulai menjalankan mobilnya dan meninggalkan rumah.
“Nanti di sana baik baik ya dek.” ucap Isyana kepada Yasa.
“Iya kak, Yasa kan emang selalu baik.”
“Pergaulan di sana sama di sini beda ih.” saut Isyana tak mau kalah, sedangkan sang adik tertawa sambil mengangguk.
“Tenang aja mamih sama papih sering kesana, jadi Yasa ga akan sendirian.” ucap Mamih yang duduk di sebelah Yasa.
“Yasa udah gede Mih ga usah disamperin tiap waktu.”
“Iya udah gede sampe sampe pernah kena hipnotis kan.” jawab Nabila.
Pada akhirnya, semua keluarganya tahu kalau Yasa pernah terkena hipnotis, Yasa sendiri yang bercerita karena tidak tahan untuk menyimpan rahasia kepada keluarganya.
Reaksinya? kaget. Sampai sampai badan Mamih lemas seketika.
“Good evening passengers. This is the announcement of pre-boarding for flight 77A to Germany. We are delighted to invite the passengers with small children and other passengers requiring special assistance to start boarding first. Please have your own boarding pass and your ID ready. For the regular boarding will begin in ten minutes approximately. Thank you.”
“Dek siapin pasport sama ID Cardnya biar ga ribet cepetan.” suruh Raissa, “Yaampun kak sabar, ini nih liat Yasa daritadi megang apa.” Melody tertawa melihat kericuhan dua orang di depannya.
10 menit berlalu.
“Your attention please, passengers of Garuda Indonesia on flight number 77A to Germany please boarding from door B3, Thank you.”
Yasa berdiri sambil menghela nafas, ia mengambil koper dan menariknya pelan. Ia berjalan ke arah yang sudah diintruksikan dan diikuti oleh keluarganya.
“YASAAAAAAA!”
Kegiatan Yasa terhenti, jujur saja ia kaget, pasalnya suara itu sangat kencang dan ... ramai.
Yasa dan keluarganya langsung membalikkan badan. Betapa terkejutnya Yasa ketika ia melihat Kaivan, Arjuna, Hendry, Teo, Wisnu, dan juga Laksana ada di hadapannya.
Keenamnya berjalan cepat menghampiri Yasa, sedangkan Yasa yang masih tidak bisa menerima ini hanya mengerjapkan matanya.
“Untung YaAllah belum telat. Lo si kang lama.” rusuh Hendry ke arah Teo.
“Ya gue tadi kan ganti baju dulu, masa make piyama kesini.”
“Laksa yang lama, etdah bikin kopi kayak lagi nanem tanemannya dulu.” saut Arjuna.
Dan pada akhirnya, keenam pria ini sedang saling tuduh siapa yang paling lama.
“Kak ...” panggilan Yasa menghentikan sesi ribut mereka.
“Kakak kenapa bisa tau ...”
“Dari Kak Nabila.” ucap Teo.
“Kak Nabila yang bilang ke Teo, terus dari Teo dikasih tau ke kita semua. Kenapa engga Yasa yang ngasih tau sendiri? kalau Yasa mau lanjut kuliah ke Jerman?” tanya Kaivan.
Yasa terdiam, matanya berkaca kaca.
“Yasa takut ...”
“Awalnya Yasa mau bilang di hari wisuda Yasa. Yasa kira kakak kakak bakalan datang, tapi ternyata tidak bisa. Dari situ Yasa takut, kalau Yasa bilang yang ada Yasa berharap kalian datang. Yasa ga mau berharap sama hal yang emang udah jelas ga akan bisa. Jadi Yasa lebih memilih buat ga bilang. Soalnya kalau kayak gitu Yasa mikir, wajar kalian ga dateng, kalian ga tau kalau Yasa mau pergi.”
Selesai ucapannya, Yasa mulai menjatuhkan air matanya. Ia tidak pernah bisa menahan tangisannya jika sudah berada di hadapan para kakaknya itu.
“Yasa.” Wisnu maju dan memeluk adik kesayangannya itu.
“Maafin Kak Wisnu ya, maafin kalau ternyata Kak Wisnu engga bisa selalu ada di setiap waktunya buat Yasa. Maafin kakak ya.”
Yasa menggeleng pelan, “Kak Wisnu ga salah, semuanya ga salah, jangan minta maaf.”
Kelima pria yang lainnya maju, ikut memeluk si adik bungsu yang akan pergi meninggalkan mereka selama bertahun tahun lamanya.
Ketika mendapat kabar bahwa Yasa akan pergi ke Jerman, mereka semua kaget, sangat kaget. Setelah kemarin kemarin mereka yang meninggalkan Yasa. Sekarang merekalah yang akan ditinggal Yasa.
Tidak tanggung tanggung. Yasa meninggalkan mereka sekaligus meninggalkan negara ini.
Maka sekarang, waktunya mereka untuk saling melepas rindu. Sebelum semuanya akan terasa sulit.
“This is the announcement of final boarding call especially for passengers Yasa Kanigara booked on flight 77A to Germany. Please go to gate 1 immediately. The final checks are going to be completed soon and the captain will then order the doors of the aircraft to close in ten minutes time. I will repeat again. This is the final boarding call for Yasa Kanigara. Thank you.”
Ketujuh pria itu melepaskan pelukannya, dan mengusap matanya. Yasa sudah harus pergi, ia berbalik dan menarik kopernya.
Setelah Yasa melewati gate, ia berbalik dan melambaikan tangannya ke arah kakak kakaknya dan juga keluaranya. Kali ini, Yasa tersenyum, begitupun kakak kakaknya. Mereka melepas kepergian Yasa dengan senyuman, begitupun dengan Yasa.
Yasa Kanigara, selamat dan sukses atas pilihanmu untuk kembali melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Terima kasih sudah menjadi Yasa yang baik, yang selalu ceria, yang kuat, dan yang sudah berjuang selama ini. Baik baik di Jerman ya, sampai jumpa kembali, Yasa.