Sampai Jumpa Kembali, Laksana Adiyatama

[Author’s pov]

“Apalagi yang mau dibawa?” tanya Ayah Laksa ketika memasukkan koper milik Laksa ke dalam bagasi mobilnya.

“Udah yah, itu aja.” Hendry datang dari dalam rumah, membawa beberapa baju yang sudah dilipat rapi.

“Laksa, gue lupa, ini baju yang pernah gue simpen. Udah gue setrikain.” Laksa tersenyum sambil membawa baju miliknya dari Hendry.

“Ga usah padahal.” Ucapnya sambil memasukkan tumpukan baju itu ke dalam kopernya.

“Kagak ah mahal soalnya.”

“Dih.” Laksa dan Ayahnya tertawa mendengar jawaban Hendry.

“Udah, Sa? mau langsung berangkat sekarang?”

Laksana melihat jam tangan di tangannya dan matanya memandang ke arah depan.

“Sebentar lagi ya, Yah. Ada seseorang yang Laksa tunggu.”


Yasa memarkirkan mobilnya dengan sembarang ketika ia sudah sampai di depan rumah kontrakan.

Dengan terburu, ia keluar dari mobil dan segera melesat masuk ke dalam rumah.

“KAK LAKSA!” panggilnya setengah berteriak.

Laksa, Ayah Laksa, dan Hendry yang sedang duduk di sofa ruang tengah itu langsung menengok ke arah sumber suara.

Laksa dan Hendry langsung berdiri ketika melihat Yasa yang datang sambil berlari.

“Yasa, kenapa lari larian?” tanya Hendry.

“Yasa...Yasa takut Kak Laksa keburu pergi...sebelum Yasa sampe. Kak Laksa maafin Yasa ya, Yasa telat sampenya. Soalnya Yasa diizininnya cuma setengah hari, jadi tadi Yasa masuk kerja dulu.”

Laksa dan Hendry menatap sendu ke arah Yasa.

“Harusnya jangan maksain, Yasa...” jawab Laksa pelan namun masih bisa terdengar oleh Yasa. Yasa menggeleng dengan cepat, “engga, Yasa harus ketemu Kak Laksa.”

Yasa menengok ke arah Ayah Laksa yang sedari tadi memperhatikan mereka bertiga.

“Halo om, maaf ya nunggu lama gara gara Yasa.”

Ayah Laksa bangkit dari tempat duduknya, “ga apa apa Yasa. Tenang aja. Laksa, Ayah tunggu di mobil ya? siapa tau kalian masih mau ngobrol.”

Setelah mendapat anggukan dari Laksa, Ayah Laksa segera melangkahkan kakinya keluar, meninggalkan tiga manusia yang akan melepas rindu karena salah satu dari mereka akan segera pergi.

“Yasa, baik baik ya? Kak Laksa janji, kita bakalan ketemu di keadaan yang lebih baik. Tapi sebelum itu, Yasa harus janji dulu sama Kak Laksa.”

“Janji apa kak?”

“Janji...” “Janji kalau Yasa bisa jadi anak kuat.”

Yasa tersenyum sambil menganggukkan kepalanya cepat, “Yasa janji.” ia mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan jari kelingkingnya, “bikin tanda dulu ayo Kak.”

Laksana menghela nafas dan mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Yasa.

“Kak Laksa. Kehadiran Kak Laksa di dunia ini ternyata bukan hanya hadiah untuk Ayah Kakak ataupun almarhumah Bundanya Kak Laksa, tapi hadiah buat Yasa, buat Kak Hendry, Kak Kaivan, Kak Arjuna, Kak Wisnu, dan Kak Teo. Karena Kak Laksa, begitu berharga untuk bisa hadir di dunia ini. Yasa seneng bisa kenal sama Kak Laksa, karena dari Kak Laksa, Yasa belajar banyak hal. Percaya ga sama Yasa, kalau Yasa bilang Kak Laksa udah bisa bikin almarhumah Bunda itu bangga? Mau tau ga alasannya kenapa? Karena Kak Laksa sudah hidup dengan baik sampai saat ini, karena Kak Laksa tidak pernah menyerah di setiap keadaan, walau Kak Laksa merasa harus berjuang sendirian. Almarhumah Bundanya kakak, bakalan tersenyum dari surga melihat Kak Laksa yang tumbuh seperti ini.”

Laksana melangkahkan kakinya, memeluk Yasa dengan erat.

“Yasa...jangan kayak gitu...Yasa adiknya Kak Laksa jangan dewasa secepat itu.”

Yasa tersenyum sambil meneteskan air matanya, “masa Yasa ga boleh jadi dewasa sih, Kak Laksa lucu banget.”

“Terima kasih Yasa, terima kasih karena sudah hadir ke kehidupan Kak Laksa dan menjadi adik kakak. Maaf kalau Kak Laksa masih banyak kurangnya, hidup dengan baik ya, Yasa? Kak Laksa akan selalu ada untuk Yasa.”

Yasa mengangguk pelan.

Hendry yang sejak tadi ada di belakang Laksana, maju dan ikut bergabung memeluk Yasa.

“Yasa seneng, Yasa seneng punya kakak kayak kalian.”


“Hen, hati hati di rumah ya. Yasa juga sebentar lagi beres magangnya kan?”

“Iya kak sebentar lagi.”

“Yaudah gue berangkat ya?”

“Hati hati Sa, kabarin kalau udah sampe rumah.” ucap Hendry yang diangguki oleh Laksana.

Laksana berjalan memasuki mobilnya, sedangkan Ayahnya sudah berada di balik kemudi. Ayah Laksa menurunkan kaca jendela mobilnya, “Yasa, Hendry, terima kasih ya sudah mau menjadi teman Laksana.”

“Sama sama om, terima kasih juga karena sudah dengan baik membesarkan Laksana.” jawab Hendry.

“Sama sama om, Kak Laksana udah seperti kakak bagi Yasa, kami sudah sedekat itu.”

Ayah Laksa mengangguk lalu mulai memajukan mobilnya perlahan, meninggalkan pekarangan rumah kontrakan dan dua manusia yang masih setia diam di tempat menatap mobil Laksa hingga tidak terlihat lagi oleh pandangan mereka.

Hendry yang ada di sebelah kiri Yasa, menepuk pundak Yasa, yang wajahnya masih setia menghadap ke arah kanan, ke arah mobil Laksa berjaln. Padahal mobilnya sudah tidak terlihat oleh pandangannya.

“Yas ayo masuk ke—YASA WAJAH LO KENAPA PUCAT GITU?!”

Laksana Adiyatama, benar kata mereka, kehadiranmu menjadi salah satu kado terindah untuk kita semua. Terima kasih sudah menjadi Laksana yang kuat, yang tidak gampang menyerah, yang selalu tersenyum. Semoga apapun yang sedang kamu impikan, dapat terwujud dengan segera. Sampai jumpa kembali, Laksana.