Sampai Jumpa Kembali, Kaivan Ardana
[Author’s pov]
Kaivan berjalan ke arah halaman belakang, niatnya ingin membawa beberapa pakaian yang masih ia jemur dan juga handuk, di belakangnya, ada Yasa, Hendry, Arjuna, dan juga Laksa.
Selesai dari halaman belakang, Kaivan berjalan ke tempat biasa dia menyetrika pakaian, masih diikuti oleh keempat adiknya.
Kegiatan menyetrika Kaivan yang ditonton oleh keempat adiknya selesai, ia lalu berjalan ke arah kamar untuk menyimpan hasil setrikaannya, dan masih tetap diikuti.
Kaivan memasukkan bajunya ke dalam koper. Baju terakhir yang ia masukkan. Barang barangnya sudah siap, Kaivan tidak membawa banyak barang, ia hanya membawa koper besar dan satu tas yang isinya hanya buku, pakaian, sepatu, laptop, dan barang penting lainnya. Kaivan akan pulang ke Jogjakarta menggunakan kereta, maka dari itu ia tidak ingin membawa banyak barang yang nantinya akan membuat repot.
Kaivan keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur, masih tetap diikuti oleh keempat adiknya. Ia mengambil gelas dan menuangkan air minum ke dalamnya, Kaivan meminumnya dengan tandas hingga tak tersisa.
Lalu, Kaivan kembali berjalan ke arah kamar mandi, dengan para pengikutnya. Kaivan terhenti di depan pintu kamar mandi dan membalikkan badannya, “mau pada ikut ke kamar mandi?” keempat adiknya langsung menggeleng cepat, mereka pun membubarkan diri dan duduk di sofa ruang keluarga. Kaivan hanya menggelengkan kepala dan masuk ke dalam kamar mandi.
Sejak Kaivan berkata ia akan pulang, keempat adiknya ini terus mengikuti kemana langkah Kaivan pergi, dan itu dilakukan sejak kemarin. Bahkan mereka rela berdempet tidur di kamar Kaivan. Yasa, Kaivan, Arjuna di kasur, Hendry dan Laksana di bawah.
Rencananya hari ini Kaivan akan pergi ke stasiun Bandung, diantar oleh mereka berempat dengan menggunakan mobil Yasa.
Kaivan keluar dari kamar mandi, mengecek jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 11.00, keretanya akan berangkat pukul 15.45, maka ia akan bersiap dari sekarang, takut terjebak macet katanya.
“Kang, mau berangkat sekarang?” tanya Hendry.
“Iya. Takut macet, yuk siap siap.”
Jalanan dari Jatinangor ke Bandung, untunglah tidak macet. Kaivan memandang ke arah jalan melalui jendela mobilnya. Laksa yang berada di sebelahnya yang sedang fokus dibalik kemudi. Hendry, Arjuna, Yasa duduk di bangku belakang.
Keadaan di mobil begitu hening, tidak ada satu pun yang mulai angkat bicara, masing masing sibuk dengan pikirannya. Masing masing, saling mengenang kejadian yang telah lalu.
Begitupun Kaivan, ia mengenang ketika bertemu Teo, lalu Wisnu datang. Siapa sangka ia akan berteman sangat baik dengan Teo dan Wisnu, hingga akhirnya mereka lulus kuliah. Wisnu yang membayarkan rumah kontrakannya, yang saat itu membuatnya kaget. Teo yang selalu menerima endorse apapun di awal ia merintis menjadi seorang selebgram. Bahkan, Kaivan tersenyum mengingat Teo yang mengendorse kuku palsu.
Kaivan juga mengenang bagaimana pertama kali Hendry mengirim pesan DM menanyakan rumah dan meminta fotonya, yang ia sangka ia akan di comblangkan dengan teman perempuan Hendry. Lalu Hendry, Arjuna, Laksana datang bertiga, rombongan kalau kata Kaivan.
Terakhir, Yasa, yang selalu Kaivan anggap sebagai adik kecilnya, adik bungsunya, yang polos dan masih harus dijaga. Yasa yang datang menggunakan mobil tidak manusiawi, yang sebelumnya menawarkan kesepakatan tidak masuk akal kepada Kaivan.
Kaivan mengenang hal hal yang terjadi di rumah, bagaimana ketika setiap orang mengalami masalah, dan ia sebagai yang paling tua mau tidak mau harus bisa berperan menjadi seorang kakak ataupun orang tua kedua bagi adik adiknya.
Beban Kaivan memang berat, ia memikul banyak harapan di pundaknya, entah di organisasi, di kampus, di keluarga, di rumah kontrakan. Tapi, Kaivan bersyukur karena bisa melewati itu semua dengan baik. Ia merasa bersyukur karena ia dikelilingi oleh orang yang menyayangi dan memberikan dukungan dengan sebegitu baiknya.
Semakin ia mengenang semakin ia ingin menangis. Buru buru Kaivan mengerjapkan matanya agar air matanya tidak turun dengan cepat, dan kebetulan Stasiun Bandung sudah terlihat di depan matanya.
“Wah, udah sampe ya?” ucap Hendry pelan.
“Hendry, Arjuna, Laksana, sekarang udah ga ada gue, Wisnu ataupun Teo di rumah. Jadi, kalian yang punya tanggung jawab buat jaga rumah ya? termasuk ...” Kaivan menghentikan ucapannya, melihat ke arah Yasa yang duduk di ujung kursi tunggu dengan menundukkan kepalanya.
“Termasuk ...” Kaivan berjalan ke arah Yasa, menyentuk pundaknya dan mengelusnya pelan.
“Termasuk adik kita semua ya? Jagain dia, jalannya masih panjang. Yasa masih butuh bimbingan kalian.”
Hendry mulai mengalihkan pandangannya, begitupun dengan Laksana dan juga Arjuna. Jujur, jika bukan di tempat umum, mereka sudah menangis sejak tadi.
“Kok daritadi ga dijawab? kenapa?” tanya Kaivan.
Yasa mengangkat kepalanya, “Kak Kav.”
Pandangan Kaivan yang awalnya tertuju kepada Hendry, Laksana, dan Arjuna, beralih untuk menatap Yasa yang tadi memanggilnya.
“Hm? kenapa Yasa?”
“Kenapa kita bertemu kalau akhirnya harus berpisah?” suara Yasa mulai bergetar.
“Bilang Yasa egois, tapi Yasa ga mau pisah, Yasa ga mau ditinggal sama kakak kakak di rumah. Kenapa kita harus baru kenal? dan setelah kita kenal deket, kenapa harus berpisah dengan cepat?”
Kaivan menekuk lututnya, dan berganti posisi menjadi berjongkok di depan Yasa.
“Yasa, dengerin kakak. Setiap pertemuan akan ada perpisahan, itu sudah hukum alam yang akan terjadi. Yasa, cara kerja dunia ga bisa kita atur sesuka hati kita. Kakak pergi bukan berarti kakak ninggalin Yasa sepenuhnya, kakak masih ada disini, kalau Yasa butuh kakak, Yasa bisa telfon atau chat kakak. Kakak selalu ada buat Yasa. Bukan Kak Kav aja, Kak Wisnu, Kak Teo, Kak Hendry, Kak Juna, sama Kak Laksa bakalan ada selalu buat Yasa.”
“Kang...” panggil Arjuna.
“Kenapa, Juna?”
“Boleh gue peluk lo ga kang?”
Kaivan tersenyum, ia bangkit dari posisinya dan merentangkan tangannya, “sini.”
Arjuna berdiri dan segera memeluk Kaivan. Bagi Arjuna, Kaivan bukan sekedar kakak tingkat di jurusannya, bukan, lebih dari itu.
“Kang...makasih, makasih udah jadi kakak gue yang paling baik. Makasih udah bisa jadi sandaran gue, makasih udah bantu gue waktu gue lagi kesusahan, makasih udah...udah hadir di hidup gue.” Arjuna memeluk Kaivan dengan erat dan air mata yang mengalir. Ia sudah tidak peduli jika para pengunjung lain memperhatikannya. Yang ia rasa sekarang, ia ingin mencurahkan seluruh isi hatinya.
“Arjuna, lo orang paling baik yang gue temuin, lo orang paling kuat, lo orang yang bertanggung jawab. Suatu saat gue yakin, hal indah akan datang buat lo. Jangan pernah menyerah ya?”
Arjuna mengangguk menjawab ucapan Kaivan.
“Kalian ga pada mau meluk gue gitu? masa Wisnu sama Teo dipeluk gue engga?” Kaivan tertawa pelan.
Tanpa basa basi, Yasa, Hendry, Laksana berhambur memeluk Kaivan.
Si kakak paling tua di rumah.
Kaivan masuk ke dalam antrian pengecekan tiket, ia melihat ke arah belakang, disana ada Hendry, Laksana, Yasa, dan juga Arjuna yang terus melihatnya.
Kaivan menyerahkan tiket kereta dan KTP kepada petugas pemeriksa. Sekali lagi, ia melihat ke arah belakang sebelum benar benar masuk.
Kaivan melambaikan tangannya dan dijawab dengan lambaian dari mereka berdua, iya berdua, karena Yasa dan Arjuna sudah kembali menangis dan sibuk mengusap air matanya.
Kereta jurusan Bandung-Jogjakarta sudah tiba di hadapannya. Dan untuk terakhir kalinya, Kaivan menghadap ke arah belakang, kembali melambaikan tangannya. Setelah dirasa puas, Kaivan berjalan masuk ke dalam kereta, mencari tempat duduk sesuai yang tertera pada tiket.
Tempat duduk yang ia tuju sudah ketemu, ia menyimpan tas besarnya di bagasi atas. Kaivan duduk dengan menghadap ke arah jendela.
Ada perasaan tidak rela untuk pergi dari sini, namun, ada hal wajib lain yang harus ia kerjakan.
Kaivan, sejak tadi mencoba menahan tangisnya. Ia tidak ingin ikut menangis di hadapan keempat adiknya, jika ia menangis, mereka akan lebih kencang menangis, lalu siapa yang akan menenangkan mereka?
Maka sekarang waktunya Kaivan mulai melepaskan rasa sesak yang sejak tadi bersinggah di dadanya, Kaivan mulai menitikkan air mata, ia menggigit bibir bagian dalam agar tidak mengeluarkan suara, mengapa tangisannya begitu terasa menyakitkan?
Mengapa rasanya semakin sesak? Mengapa rasanya ia ingin keluar dari kereta dan menghambur kepada keempat adiknya?
Kaivan menunduk dan mulai menangis hingga badannya bergetar, ia meremat jarinya menyalurkan rasa sesak yang ia rasa.
Jika tadi di hadapan keempat adiknya ia menjadi orang paling tegar, maka sekarang, ia menjadi orang paling rapuh.
Kereta mulai melaju perlahan, dan Kaivan masih belum henti menangis.
Kaivan Ardana, kamu sudah sangat baik sejauh ini, sudah baik untuk menjadi seseorang yang bisa diandalkan, sudah baik untuk menjadi seseorang yang paling dewasa. Tidak apa menjadi lemah, tidak apa untuk rapuh, kita manusia Kaivan, kita punya hati dan punya batasnya. Kaivan, semoga kamu selalu sukses dimanapun berada, semoga pekerjaan yang telah didapat, menjadi titik awal kesuksesan kamu di masa depan. Samai jumpa kembali, Kaivan.