Sampai Jumpa Kembali, Hendry Rahardja
[Author’s pov]
Hendry sudah mengepak semua barang yang akan ia bawa, sekaligus bajunya. Ia melihat ke sekeliling kamarnya, yang sudah ia tempat selama dua tahun ini. Ia teringat bagaimana ketika pertama kali datang kesini, ia perlu tidur berdempetan dengan Arjuna dan juga Laksana. Hendry tersenyum kecil mengingatnya.
Hendry berjalan keluar kamar, rumah yang sekarang tampak sepi itu dulu pernah dipenuhi oleh canda tawa, isak tangis, segala emosi pernah ditumpahkan disini.
Hendry memilih mendudukkan dirinya di sofa, tempat yang paling ia suka, karena menurutnya di tempat ini lah semuanya berkumpul bersama, menonton, bercerita, hingga makn bersama pun sudah mereka lakukan di tempat ini. Namun, selain itu, tempat ini menjadi saksi bisu perpisahan di antara mereka.
Hendry bukan orang yang bisa mengekspresikan perasaannya, ia tidak bisa mengatakan secara lugas seperti Yasa yang ingin tetap kakak kakaknya disini. Jauh di lubuk hatinya, Hendry ingin sekali menyuarakan, bahwa ia juga tidak ingin ditinggal. Karena Hendry, sudah sering merasakannya.
Ketika bertemu dengan keenam lelaki yang ia sudah anggap saudara, Hendry merasakan kembali apa itu kehangatan, apa itu kasih sayang, apa itu rasanya ada yang mengkhawatirkan, apa itu rasanya memiliki pegangan. Dan ketika satu persatu meninggalkannya, Hendry benar benar merasa hampa.
Hendry, tidak pernah menunjukkan perasaan itu kepada siapapun.
Jika ada yang tertawa, ia akan ikut tertawa. Jika ada yang tersenyum, ia akan ikut tersenyum. Dan jika ada yang menangis, ia akan ikut menangis.
Tanpa mereka tahu bagaimana perasaan sesungguhnya dari Hendry.
“Gue kangen kalian.”
“Gue ga mau ditinggal kalian.”
“Gue ga mau sendirian.”
“Gue ga suka rasa sepi.”
Hendry memperhatikan kotak yang ada di depannya, beserta kertas putih polos dan juga pulpen . Hendry meraih kertas dan pulpen itu, dan menjadikan kotak yang berisikan sebuah hadiah menjadi alasnya.
Dengan tangan yang bergetar, Hendry mulai menggerakan tangannya untuk menulis di atas kertas putih polos.
Entah apa yang Hendry tulis, namun beberapa kali ia mengusap matanya.
Dan dengan pelan, Hendry menggumamkan beberapa kata.
“Yasa maaf.”
“Maafin gue.”
“Maaf...”
“Rumahnya keliatan sepi?” tanya Mamanya Hendry ketika beliau masuk ke dalam rumah.
“Iya, orang orang udah pada pulang.”
“Tinggal kamu doang?” tanya Ayahnya.
“Ada satu orang lagi tapi masih magang.”
Hendry membawa barang barangnya dari kamar ke ruang tamu.
“Segini barang bawaan kamu?”
Hendry mengangguk.
Dibantu sang Ayah, Hendry mulai memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi mobil.
“Sebentar, Hendry ngunci pintu dulu.”
Hendry kembali ke depan pintu rumah untuk mengunci pintu dan selanjutnya, ia menutup rapat pintu pagar.
“Udah?” tanya Mamanya ketika Hendry sudah masuk ke mobil. “Iya udah, Ma.”
Mobil yang dikemudikan Ayah Hendry perlahan meninggalkan pekarangan rumah kontrakan, dengan Hendry yang terus menatap rumah itu.
Hendry membetulkan posisi duduknya menjadi menghadap ke depan, lalu melihat ke arah Ayah dan Mamanya.
“Mama, Ayah, kalau Hendry minta buat makan bareng, Ayah sama Mama bisa ga? kalau ga bisa ga—”
“Bisa.”
“Bisa.”
Jawaban Ayah dan Mamanya itu mampu membuat Hendry tersenyum kecil.
Hendry bergumam, “makasih udah wujudin keinginan Hendry.”
Hendry Rahardja, tidak apa sesekali menceritakan apa yang kamu rasakan, tidak apa untuk membagi bebanmu dengan yang lain. Hendry, jangan selalu menyimpan semuanya sendiri, ya? sudah cukup kamu berjuang sendiri. Hendry, impianmu akan terwujud satu persatu, terima kasih karena sudah menjadi anak yang baik. Semoga kamu diberikan kelancaran dan kemudahan dalam menjalankan kembali sekolah lanjutanmu. Sampai bertemu kembali, Hendry.