Sampai Jumpa Kembali, Arjuna Kalingga
[Author’s pov]
Arjuna sudah siap dengan tas besar berisi bajunya. Barang barangnya sudah disimpan di kost barunya, sejak beberapa hari yang lalu dibantu oleh Hendry dan juga Laksana.
Yasa menepati perkataannya, bahwa ia akan pulang ke rumah untuk bertemu dengan Arjuna. Ia berangkat dari tempatnya magang selepas jam kerja, dan sampai di rumah sekitar pukul 10 malam karena jalanan macet.
Sekarang, Yasa sedang menyiapkan bingkisan yang ia bawa dari tempat magang, sayuran.
“Ini, Kak Juna jangan makan sembarangan. Harus makan yang sehat. Apalagi udah mau kerja kan? Jadi makanannya harus yang bergizi.” Yasa memberikan plastik dengan isi sayuran itu ke arah Arjuna, yang langsung diterima oleh Arjuna.
“Yasa.” Panggil Arjuna.
“Kenapa kak?”
“Yasa jangan merasa kita ninggalin Yasa, ya? kita akan selalu ada buat Yasa. Yasa jangan merasa sendirian. Kalau ada apa apa bilang ke Kakak, atau ke Kak Laksa sama Kak Hendry.”
Yasa mengangguk pelan.
“Yasa jangan—”
“Engga kak. Yasa ga akan nangis, soalnya Yasa inget apa kata Kak Kaivan. Kalau di setiap pertemuan akan ada perpisahan. Maaf kalau Yasa kemarin kemarin egois, maaf kalau kemarin kemarin Yasa pengen kita tetep kumpul. Padahal nyatanya, ga akan pernah bisa kayak gitu. Karena kita akan menemukan dunianya kita masing masing. Yasa bersyukur, karena kehidupan kuliah Yasa, Yasa kenal sama kalian semua. Buat Yasa, kenal sama kakak kakak itu salah satu anugerah yang diberikan Tuhan untuk Yasa.”
Arjuna melangkah mendekati Yasa dan memeluknya. Benar, memang disini bukan Yasa yang menangis, melainkan Arjuna. Arjuna yang menangis ketika memeluk Yasa. Seperti ini rasanya ketika akan meninggalkan rumah dan segala isinya, seperti ini rasanya tidak rela untuk melangkah pergi dan memulai kehidupan yang baru.
Laksana masuk dari arah depan pintu rumah dan Hendry keluar dari kamarnya.
“Jun mobilnya udah—” perkataan Laksana terhenti ketika melihat Arjuna memeluk Yasa dan terdengar isakan tangisnya, begitupun Hendry yang baru keluar dari kamar. Ia terdiam di depan pintu kamar, belum berani untuk mendekat.
“Yasa ... Kak Juna minta maaf .... maaf kalau selama ini Kak Juna belum bisa jadi kakak yang baik buat Yasa. Maaf kalau selama ini Kak Juna ngerepotin Yasa. Maaf ... maaf karena Kak Juna belum bisa kasih apa apa buat Yasa. Yasa, Yasa adik kakak, kakak sayang sama Yasa.”
Jikalau seperti itu, bagaimana bisa Yasa menahan agar air matanya tidak jatuh? perkataan Arjuna membuat pertahanan Yasa runtuh. Ia ikut menangis, walau ia meredam agar suaranya tidak terdengar.
“Kak Juna, Kak Juna orang baik, Kak Juna orang kuat. Kak Juna adalah kakak yang paling hebat yang Yasa kenal. Kak Juna terima kasih karena sudah bertahan sampai saat ini.”
Laksana mengalihkan pandangannya dengan matanya yang sudah berkaca kaca. Berbeda dengan Hendry yang langsung berjalan ke arah Arjuna dan Yasa, dan langsung menghambur memeluk mereka berdua.
Laksana akhirnya melangkahkan kakinya, menuju ke arah Hendry, Yasa, dan Arjuna. Mengelus punggung Arjuna yang masih bergetar karena menangis.
Setelah kakaktua tidak ada, kehidupan mereka di rumah terasa kurang. Jauh di lubuk hati mereka, mereka merasakan kekosongan itu. Tanpa adanya kakaktua, mereka seperti kehilangan pilarnya. Namun, mereka berempat mencoba untuk saling menguatkan, bahwa inilah kenyataannya. Kenyataan yang harus mereka hadapi.
Dan selama beberapa waktu kedepan, mereka masih setia dengan posisinya, saling mencurahkan isi hati mereka.
“Ini kostan barunya Kak Juna?” tanya Yasa ketika mobilnya sampai di sebuah kost kostan sederhana.
“Iya, emang ga sebagus rumah kedua. Tapi ini yang paling murah dan deket juga ke kantor, jalan kaki juga bisa.” Arjuna melepas seat belt-nya.
Arjuna keluar dari mobil disusul oleh Hendry, Laksana, dan juga Yasa. Yasa terus memperhatikan kost kostan sederhana itu. Matanya tidak lepas sejak tadi. Kost kostan ini sangat sederhana, mungkin isinya hanya terdapat 5-7 kamar saja.
Arjuna membuka pagar yang terbuat dari besi yang sudah berkatat, lalu ia melangkah masuk diikuti oleh yang lainnya.
Kamar Arjuna terletak di ujung kiri. Ia memasukkan kunci dan membuka pintunya.
“Kamarnya kecil, jadi kalau mau duduk ga apa apa di kasur aja.”
Kamar itu memang benar sangat kecil, bahkan untuk dua orang saja sudah terasa sesak. Kasurnya pun hanya kasur lipat biasa.
“Kamar mandinya dimana kak?” tanya Yasa yang baru pertama kali kesini. Karena ia tidak melihat pintu yang lain selain pintu masuk.
“Diluar Yas, jadi misah gitu.”
“Jun. lo kan kerja selama kuliah, emang ga ada buat bayar kost yang agak mending dari sini?” tanya Hendry sambil memperhatikan sekitar. Dari awal Arjuna memilih kostan ini, Hendry memang tidak setuju, karena selain kecil, kamar mandinya hanya satu dan dipakai bersama.
“Ya ada tapi sayang Hen. Adek adek gue masih butuh biaya buat sekolah, si Teteh juga kan Alhamdulillah kuliah, tapi waktu itu ga dapet beasiswa, jadi pake biaya sendiri. Kalau gue ga bantu, dari siapa lagi Hen? kalau kerjaan gue udah bagus, gue pindah kok tenang aja.”
Yasa, Arjuna, Hendry hanya terdiam.
“Gue ga bisa nawarin nginep ya sorry hehe ga ada tempat soalnya.”
“Santai aja, Jun. Kayak ke siapa aja lo.” ucap Laksana.
Mereka berempat kembali terdiam dalam keheningan. Hari belum terlalu sore, namun diluar sana, keadaan sudah cukup gelap, sepertinya Bandung akan diguyur hujan. Bahkan, alam pun ikut merasakan kesenduan yang dialami oleh keempat orang ini.
“Kayak yang mau hujan ya? udah gelap soalnya.” ucap Hendry pelan.
“Pulang aja gih, takut keburu hujan gede. Ya walau kalian pake mobil, tetep aja takut kenapa kenapa di jalan.” titah Arjuna.
“Ga apa apa, Jun?” tanya Laksana.
“Ga apa apa lah.”
Akhirnya Hendry, Laksana, dan Yasa bangkit dari posisinya dan bersiap untuk pulang.
Arjuna mengantarnya sampai depan gerbang, dan ketika Arjuna akan menutup gerbang, Yasa yang berjalan paling belakang itu, membalikkan badannya ke arah Arjuna.
“Kak Juna.” panggil Yasa.
“Kenapa Yasa?”
“Janji ya? janji buat suatu saat ketemu sama Yasa lagi.”
Arjuna tersenyum dan mengangguk pelan, “Janji.”
Arjuna Kalingga terima kasih sudah menjadi manusia yang kuat selama ini. Bebanmu memang berat, namun kamu memilih untuk tetap bertahan. Arjuna, semoga kamu menjadi orang yang sukses, yang bisa membanggakan Ambu, Abah, Adik adikmu, dan para keluargamu di rumah kedua. Semoga suatu saat, kamu dapat menemukan pelangi di ke hidupanmu. Sampai jumpa kembali, Arjuna.