— PETUALANGAN HENDRY DAN OPAL —
Hendry mengklakson motornya di depan rumah Opal. Tidak menunggu waktu yang lama, Opal keluar dengan membawa tas carrier yang cukup besar dan kotak sedang di tangan kirinya yang berisi ayam pejantan hitam.
“Maneh ngapain anjir bawa tas carrier?”
“Aing takut laper jadi aing bawa makanan, kan udah aing bilang.”
Hendry rasanya ingin menimpuk Opal dengan tas carriernya itu. Heran, kok bisa bisanya ia betah berteman dengan Opal?
Malam hari itu, ralat, tepatnya tengah malam hari itu cuaca seakan mendukung kegiatan Hendry dan Opal. Langit begitu cerah ditaburi bintang bintang dan bulan purnama, hanya saja angin yang kencang membuat mereka kedinginan di atas motor.
“DINGIN AMAAAAT GOKILLLLLL.” teriak Opal sambil memegang pundak Hendry.
“Duh untung aing pake jaket.” jawab Hendry.
“Pal, masih jauh kagak? abis ini belok kanan apa kiri?”
Opal yang bertugas menentukan jalan dengan melihat google maps itu mengerutkan keningnya ketika meliat layar ponsel miliknya.
“Bentar Hen sinyal aing ilang muncul ilang muncul.”
Hendry berdecak sambil terus menjalankan motor bebek kesayangannya.
“Nah ada, ga jauh sih tapi ga deket juga. Lurus aje terus dah.”
“Buset ini lurus aje terus tau tau nyampe Arab.”
Sebenarnya sejak tadi Hendry sudah merasa tidak enak perasaan, pasalnya sudah hampir dua jam mereka berkendara tapi mereka masih belum sampai di tempat.
Begitupun Opal, ia sudah merasakan hal yang sama, bulu kuduknya mulai merinding ketika motor yang mereka lajukan itu mulai masuk ke area jalan panjang yang di kanan kirinya hanya dipenuhi pohon.
“Kenapa sih aing mau kayak gini ya aing bingung.” — opal
“Mau balik lagi tapi tanggung, diterusin tapi takut. tau ah.” — hendry.
Tepat pukul satu malam dini hari, motor Hendry berhenti di sebuah warung kopi sederhana. Setelah menempuh waktu kurang lebih tiga jam, mereka menemukan warung yang masih buka.
Setelah menyimpan helm mereka duduk di bangku yang sudah disediakan.
“Hen kata aing, coba maneh tanya ke mbahnya, dimana gitu terus shareloc aja lokasi kita.”
Hendry mengangguk patuh, ia membuka ponselnya.
“Yah anjir ga ada sinyal Pal.” Hendry memperlihatkan ponselnya dan ya seperti yang Hendry katakan bahwa sinyalnya hilang. Opal mengecek ponselnya dan sama, sinyalnya juga tidak ada.
Mereka berdua termenung kebingungan sampai sampai ibu penjaga warung menghampiri mereka.
“Bade kamana aa aa teh?” (mau kemana aa aa?)
“Eh bu, ieu panginten abdi bade ka gunung lalakon sareng rerencangan, abdi tos janjian, tapi teh ieu bade ngawartosan ka jalmina teu aya sinyal.” jawab Opal (Eh bu ini saya mau ke gunung lalakon sama temen, saya udah janjian, tapi mau ngasih tau ke orangnya malah ga ada sinyal)
“Oh eta aya jalan alit, eta teh jalan kangge ka gunung lalakon. Ngan muhun kudu aya jalmi anu apal jalan sareng ngartos, ulah nyalira.” (oh itu ada jalan kecil, itu jalan dipake buat ke gunung lalakon. Cuma iya harus ada orang yang tau jalan sama paham, jangan sendirian)
Hendry sama Opal ngangguk ngangguk aja pas udah dikasih tau sama Ibunya. Ada perasaan lega soalnya itu berarti mereka ga salah arah. Abis itu Ibu penjaga warung tadi pamit mah ke kamar mandi dan ninggalin Hendry sama Opal berdua di sana.
Suasana semakin sepi, yang terdengar hanya suara hewan hewan yang saling bersahutan.
Terus pas mereka berdua lagi liatin sekitar tiba tiba…
“ANJING!” Hendry bangkit dari kursinya sambil mengumpat. Opal jadi ikutan kaget gara gara Hendry teriak.
Ternyata Hendry kaget gara gara ada yang pegang pundaknya, dan pas diliat ke belakang, bener aja ada bapak bapak rambutnya panjang terus dikepalanya kayak ada kain yang diiket, bajunya warna hitam semua. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
“Kaget Hen.” ucap Opal sambil mengelus dadanya.
“Ya sama anjir aing lebih kaget.”
Hendry mengamati orang di depannya itu.
“Ini … Mbah Aki?” tanya Hendry. Orang yang menggunakan pakaian serba hitam itu mengangguk.
“Ikut saya.” ucapnya pelan dan terkesan dingin.
Opal menatap Hendry dan membulatkan matanya.
‘bener kagak ini orangnya?’ — opal
Hendry menjawab dengan menaikkan alisnya.
‘kalau dari liat foto profle wa sih mirip Pal.’ — hendry.
“Kenapa diam?” suara Mbah Aki itu membuat Hendry dan Opal menegakkan tubuhnya. Mereka segera mengambil barang barangnya dan mengikuti langkah Mbah Aki.
Semakin malam, maka suasananya semakin mencekam. Udara semakin dingin, dan pandangan pun kian menggelap karena tidak adanya lampu sama sekali. Entah berapa kali Hendry ataupun Opal tersandung ketika berjalan, ditambah jalanan yang cukup menanjak semakin membuat mereka berkeluh kesah di dalam hati.
“Mbah Aki ini masih jauh?” tanya Hendry. Namun, tidak ada jawaban dari Mbah Aki yang masih setia berjalan di depan mereka.
Opal yang ada di belakang Hendry menarik jaket Hendry pelan.
“Kenapa?” ucap Hendry berbisik.
“Mbah Aki emang jutek gitu Hen?”
“Kagak sih, di chat mah biasa aja. Gatau mungkin lagi serius.”
“Aing laper.”
Ah ilah, Hendry menarik tangan Opal.
“Tahan bego, kalau kita berhenti terus makan, yang ada kita ditinggal.”
Akhirnya, dengan pasrah Opal kembali berjalan mendaki gunung yang tak tahu sampai kapan.
Mbah Aki berhenti diikuti dengan Hendry dan Opal. Ia berbalik, masih dengan tatapan tanpa ekspresinya.
“Dibawa perlengkapannya?”
Hendry dan Opal mengangguk patah patah.
Tangan Mbah Aki terjulur ke arah kanan bersamaan dengan pandangan Hendry dan Opal yang mengikutinya.
Ada sebuah sumur yang tidak begitu besar.
“Mandi di sana pake bunganya.”
“EH?!”
Terkejut bukan main, pasalnya mereka tidak membawa handuk, dan … mandi di semak semak? Ya mereka tahu tidak ada orang selain mereka bertiga, namun, tetap saja.
“Anu … emang harus Mbah Aki?”
“Ritual.”
“Tapi … ga ada kamar mandi …” ucap Opal pelan.
Melihat Hendry dan Opal yang masih terdiam, Mbah Aki kembali berbicara.
“Gimana?”
“Eh iya … ini … mau bentar.”
Dengan bermodalkan ‘nekad’ Hendry dan Opal berjalan ke arah sumur itu, baru saja sampai, mereka sudah merasa suasana yang terasa berbeda.
“Hen … lo nyium melati ga?” tanya Opal.
“Pal, lo ga usah ngomong yang aneh aneh, mending mandi aja udah biar cepet selesai.”
Opal menyimpan kotak berisikan ayam dan melepas tas carriernya, ia melirik ke sekitar, hanya pohon pohon besar yang ia lihat.
*“Hen … beneran?” i Opal makin merasa ragu.
Hendry membuka kantong kresek berisikan bunga 7 rupa yang ia beli.
“Udah setengah jalan Pal, tanggung.”
“Tapi Hen … aing … ga berani.”
Sebenarnya Hendry pun sama, ia semakin ragu namun rasanya sudah kepalang, jadi yaudah.
Hendry melihat ke arah Mbah Aki. Ia duduk bersila membelakangi mereka.
“Pal … aing punya ide. Sini aing bisikin.”
Hendry dan Opal kembali ke hadapan Mbah Aki. Tidak, mereka tidak mandi. Tadi mereka membasahi tangan dan muka menggunakan air mineral yang Opal bawa, berikut sedikit bunga, agar terlihat mereka memang ‘mandi’
Hendry dan Opal duduk bersila.
“Udah?”
“Udah Mbah Aki.”
“Mana ayam?”
Opal memberikan kotak yang berisikan ayam itu. Ayamnya masih hidup.
Ketika Mbah Aki membuka kotaknya, tiba tiba Opal menolehkan wajahnya ke arah Hendry.
“Maneh kalau mau iseng tau waktu.” ucapnya tanpa suara.
“Naon sih?” (apa sih) tanya Hendry.
“Maneh noel urang.” (kamu noel aku)
“Hah? kagak anjir.”
Dan seketika mereka berdua terdiam.
Opal berani bersumpah bahwa tadi ada yang menoel pundaknya, dan ia berpikir itu kerjaan Hendry. Sedangkan kenyataannya, Hendry sedang memperhatikan Mbah Aki yang mengeluarkan ayam dari kotak.
Jantung Hendry dan Opal semakin berdegup kencang. Begitupun dengan angin yang bertiup semakin kencang.
Suara ayam pejantan hitam yang tiba tiba berkokok nyaring membuat Hendry dan Opal ingin segera melarikan diri.
Grap!
Opal merasakan kedua pundaknya dipegang, matanya melirik ke arah Hendry, sedangkan Hendry menundukkan kepalanya. Bukan tanpa alasan, Hendry merasakan berat di bagian lehernya hingga ia tak mampu untuk mengangkat kepalanya.
‘Kalau ga berani jangan coba coba datang kesini.’
Sebuah suara masuk ke telinga Hendry yang membuat dirinya refleks menutup telinganya. Hendry menutup matanya, rasa berat di leher semakin terasa.
Cengkeraman di pundak Opal semakin kuat, ia meringis sambil memejamkan matanya.
Baik Hendry maupun Opal, saling memanjatkan doa agar mereka tetap terlindungi.
’Tolong jangan ganggu gue, gue beneran ga akan ngapa ngapain. tolong’ — hendry
’tolong ini mah urang masih banyak cicilan yang harus dibayar’ — opal
Hendry dan Opal melawan, melawan rasa takut, melawan rasa gelisah, melawan rasa cemas. Hingga akhirnya, perlahan Hendry merasakan lehernya sudah tidak seberat tadi, ia mulai membuka mata dan mengangkat kepalanya, begitupun dengan Opal.
Dan setelah mereka membuka mata dengan sempurna, mereka melihat mulut Mbah Aki dipenuhi dengan darah dari ayam pejantan yang tanpa mereka tahu sudah tidak berdaya. Ditambah … Mbah Aki yang menyeringai ke arah mereka, lalu … tertawa dengan nyaring.
Tanpa basa basi, Hendry dan Opal segera bangkit dan berlari pontang panting meninggalkan area tersebut.
Tidak peduli dengan acara ritual atau apapun itu, yang mereka inginkan hanyalah sampai di bawah dengan selamat dan bisa pulang ke rumah.