Perjanjian Kontrak
[Teo’s pov]
Dari kemarin gue ngerasa ga tenang, bahkan pas ke kampus pun gue sering ngelamun sampai ditegur sama dosen berapa kali.
Gue mikirin perihal jadi brand ambassador, gue masih bingung aja, di satu sisi gue mau, di sisi lain gue ga mau, entahlah.
Gue mau, karena gue ngerasa ini jadi salah satu langkah karir gue buat kedepannya, iya kan? Kayak, woy ini kesempatan di depan mata, masa mau lo buang gitu aja? tapi gue ada sisi ragunya juga. Gue mikir, gue bisa ga ya? gue mampu ga ya?
Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi di hari Rabu, dan gue masih berkutat di atas kasur. Kaivan tadi sih katanya mau masak buat sarapan.
Gue masih anteng liat langit langit kamar, sampai akhirnya pintu terbuka dengan cukup kencang.
Brak!
“Buset!” gue langsung ngelus dada saking kagetnya.
“BUSET BUSET AJE LO. JAM 8 TEO! LO BUKANNYA SIAP MALAH NGELAMUN MULU. LO NGELAMUN GA AKAN TIBA TIBA JADI ARTIS.”
Sumpah, Kaivan kalau udah ngomel ngalahin ibu ibu, beneran dah.
“Yaudah sabar Kav...”
“HADEH CAPEK. DIKIRA LO MANDI SIAP SIAP SAMA PERJALANAN KESANA ITU CUMA BUTUH 5 MENIT APA HAH? NIH GUE UDAH MANDI DARI SUBUH UDAH SARAPAN JUGA. LO YANG PUNYA HAJAT MASIH AJE DIEM.”
Kalau Kaivan udah ngomel sambil teriak gitu, itu tandanya gue emang salah banget. Jadi gue ga akan ngelawan. Gue ngangguk sambil bangun dan bergegas buat siap siap. Takut kena amukan lagi.
“Kav naik motor aja ya? biar cepet.”
“ELIZABETH MAKSUD LO?!”
YaAllah masih aje ni orang ngegas....
“Yaiya siapa lagi?”
“KALAU MOGOK GUE GA MAU TANGGUNG JAWAB.”
“Ya masa make mobil? ga akan bisa cepet ntar kita.”
“Nih kang pake motor Hendry aja, udah di service ga akan mogok. Cepetan.” Hendry dateng sambil ngasihin kunci motornya.
Ga banyak basa basi, gue sama Kaivan pergi ke tempat tujuan, ohya, gue yang dibonceng Kaivan btw.
Gue sama Kaivan tiba di tempat tujuan dan bergegas buat ke receptionist.
“Permisi mbak.”
“Iya? ada yang bisa saya bantu?”
“Hm saya mau ketemu Bu Rina, dari tim marketing.”
“Udah janjian mas?”
“Hm...Iya sih, jam 10 bilangnya.”
“Tunggu sebentar ya mas.”
Receptionist itu pun menelfon seseorang yang mungkin Bu Rina itu.
“Maaf mas, atas nama siapa?”
“Teo, Teo Bagaskara.”
Receptionist itu mengangguk lalu kembali berbincang di telfon. Tidak berselang lama panggilannya pun berhenti. Ia menoleh ke arah gue.
“Mas, silahkan naik ke lantai 5 ya, ada ruangan tulisannya Divisi Marketing, nah masuk aja kesitu. Nanti ada yang ngarahin.”
“Baik mbak, terima kasih ya.”
“Sama sama, Mas Teo.”
Disinilah gue berada, di salah satu ruangan, yang ternyata milik Ibu Rina selaku brand manager disini.
“Hai, maaf ya saya dipanggil bentar barusan sama atasan.”
Kami berdua, gue sama Kaivan langsung berdiri dan bersalaman dengan beliau.
“Oke silahkan duduk ya, santai aja ga usah kaku.”
Gue tersenyum hangat, ramah banget deh ibunya.
“Jadi gimana Teo? Apa yang membuat kamu memutuskan untuk akhirnya datang kesini?”
Buset, udah kayak ditanya mau lamar kerja. Ya bener sih, gue emang lamar kerja disini, jadi brand ambassador, anjay.
“Jujur bu saya awalnya ragu, saya ragu sama kemampuan diri saya, mampu ga ya saya menjalaninya? hampir dua hari saya mikirin itu terus menerus. Tapi saya juga kembali berfikir, ini salah satu kesempatan saya, ini challenge bagi saya, mengapa saya tidak mencobanya? Siapa tau ini merupakan langkah awal bagi saya.”
Bu Rina mengangguk ngangguk mendengar jawaban gue.
“Kamu udah tau kan perusahaan kita bergerak di bidang apa?”
Gue mengangguk mantap.
“Udah tau juga produk apa yang kami tawarkan untuk kamu sebagai brand ambassador?”
Kembali, gue mengangguk.
“Oke, saya jelaskan sebentar ya Teo. Perusahaan kami memang bergerak di bidang skincare untuk wajah ya, awalnya itu kami buat khusus untuk wanita. Tapi makin kesini, kami membuat produk baru, skincare wajah untuk pria. Lalu kami terus berkembang, terus memberikan inovasi terbaru, sehingga munculah ide untuk menciptakan hair treatment yang genderless. Kenapa sih kita bikin untuk hair treatment? karena kita semua tau kan bahwa rambut itu mahkota, terutama bagi wanita. Seiring berkembangnya zaman, tidak hanya wanita, pria juga memperhatikan pertumbuhan rambut mereka.”
Bu Rina menjelaskan secara panjang lebar.
“Mungkin kamu udah sering mendengar permasalahan rambut yang sering dialami, entah itu bercabang, rontok, kasar, dan lain sebagainya. Membuat kami ingin menciptakan produk hair treatment. Disini produknya berupa hair oil yang nanti digunakannya setelah keramas, nanti kamu saya kasih sample juga untuk percobaan. Jadi, kamu tahu bagaimana keunggulan dari produk kami.”
“Lalu selanjutnya, kenapa saya memilih kamu, jujur kamu memiliki daya tarik tersendiri. Saya yang melihat langsung instagram kamu. Saya juga liat improve kamu setiap harinya di setiap postingan. Kamu bisa membawa positive vibes, membawa kesan ceria, dan anak millenial pastinya. Saya tau, kamu masih baru, tapi tidak ada salahnya? Saya merasa yakin, image kamu sesuai dengan perusahaan kami.”
Gue mengangguk begitupun Kaivan.
“Saya merasa sangat terhormat dengan ditawarkannya saya menjadi brand ambassador disini. Jujur, saya bahkan rasanya ingin menangis, seperti? wah akhirnya lambat lain mimpi saya tercapai.”
“Tidak ada yang tidak mungkin jika kamu terus berusaha, Teo. Sebentar ya.”
Bu Rina bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja, ia membawa map yang mungkin gue tebak isinya perjanjian kontrak?
Bu Rina kembali ke arah gue, ia menyodorkan map tersebut.
“Di dalam map tersebut berisi perjanjian kontrak, beserta syarat dan ketentuannya. Silahkan dibaca terlebih dahulu, Teo.”
Gue membuka map tersebut dan mulai membacanya dengan seksama. Gue harus memastikan, bahwa dengan perjanjian ini, tidak ada yang dirugikan, baik gue ataupun pihak perusahaan.
Kaivan yang ada di sebelah gue juga ikut membaca kontrak tersebut, beberapa kali Kaivan memberi saran.
Setelah selesai membaca, gue menutup map tersebut.
“Jadi bagaimana Teo? apakah kamu berminat?”