PART 30

“Yuk dek sama gue aja.” ucapan Josha bersamaan dengan pintu kamar Alisha yang ia buka.

“Lah gimana sih, katanya kemarin ga bisa? gue udah ngajakin Mira sama Gadis.”

“Yaudah gapapa lah mereka ikut, suruh aja nyusul. Makin banyak makin cepet selesainya. Gue sengaja izin kantor, cepetan.”

Alisha segera merapikan meja riasnya, memasukkan beberapa barang yang akan ia bawa ke dalam tas kecil, lalu keluar dari kamar.


“Gadis baru bisa dateng nanti sore pulang kerja. Mira juga sama soalnya dia ada urusan dulu di cafenya.”

“Nah kan untung gue bisa, coba kalau lo sendiri kapan kelarnya.”

Keduanya mulai mengeluarkan satu persatu barang yang mereka bawa di mobil. Alisha memutuskan untuk tidak menyewa mobil pick up, karena barang barang yang besar sebagian sudah sampai ke rumahnya, diantar langsung oleh toko ketika ia belanja saat itu.

“Masih banyak yang kurang ga barang yang belum dibeli?” tanya Josha sambil membawa kardus.

“Gue waktu itu beli yang penting aja dulu kak, kayak kasur, lemari, terus sebagian peralatan dapur. Masih lumayan sih, kayak mesin cuci, meja makan, itu belum gue beli.”

Keduanya beriringan masuk ke dalam rumah dan meletakkan kardus itu di lantai.

“Oh sama yang waktu itu kan yang beli bareng lo, tapi itu cuma perintilan aja.”

“TV mau beli apa mau yang di apart?” Josha keluar rumah diikuti dengan Alisha di belakangnya.

“Beli aja, ada uangnya kok gue. Itu yang di apart kan mau lo pake.”

Keduanya sibuk memindahkan kardus kardus dari dalam mobil ke rumah, hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.

“Capek banget padahal cuma segini doang.”!Josha menselonjorkan kakinya di lantai, berhubung sofanya belum ada, jadi ya terpaksa ia duduk di lantai.

Alisha membawa minuman kaleng yang sempat mereka beli tadi, dan memberikannya satu ke arah Josha. Ia mengikuti sang kakak, duduk di sebelahnya.

“Gimana?” tanya Josha seusai meminum minumannya.

“Lo kalau nanya bisa lebih spesifik ga kak?”

“Ya semuanya, Gata atau Hisyam.”

“Mas Gata, dia minta maaf kak, ya pokoknya sehabis lo ajak ngomong, besoknya dia ngechat. Intinya dia minta maaf dan ga akan ganggu gue lagi. Lo ngomong apaan sampe dia bisa bertekuk lutut gitu? dia kan sebelum sebelumnya batu banget.”

“Adalah, lo ga usah tau. Yang penting urusannya kelar kan?”

Alisha mengangguk.

“Kalau Hisyam?”

“Kak … gue udah sayang sama dia, gapapa kan?”

“Ga apa apa lah. Siapa yang larang?”

“Maksudnya, dia bakal nerima gue ga kak?”

“Lo kalau nanya gitu ke gue, gue ga bisa jawab, karena gue bukan Hisyam. Tapi menurut gue, lo harus ngebicarain ini sama dia Al. Gini deh, at least lo udah mencoba menjelaskan, keputusan dia mau nerima atau engga itu gimana nanti. Paling penting, lo ga nutupin ini ke dia. Dia berhak tau, Al.”

Alisha menghela nafas panjang.

“Gue cuma … takut aja kak. Lo tau sendiri kan, gimana dulu.”

“Iya, gue paham. Makanya tadi gue bilang, lo harus ngobrol dulu. Feeling gue dia bisa nerima, walaupun gue belum pernah ketemu langsung sama orangnya. Kapan mau ketemuin gue?”

“Ya nanti dia kan baru pulang dari Surabaya kak.”

Josha merasakan ke-khawatiran adiknya itu. Bagaimana pun ia tidak bisa memaksa Alisha, mungkin dengan cara mendukungnya seperti ini bisa membuat kepercayaan diri Alisha kembali muncul.

Josha mengelus kepala adik semata wayangnya itu, melihat adiknya bahagia adalah tujuan utamanya selama ini.

“Oh jadi karena ini Al kamu ga mau jawab pertanyaan aku? terus kemarin kamu ngelarang aku buat dateng bantuin tuh karena ini? alibinya bilang aku harus istirahat tapi ternyata … kalau emang hati kamu udah ada yang punya, bilang Al. Jangan bikin aku bingung kayak gini.”

Setelah berucap seperti itu, Hisyam pergi meninggalkan Alisha dan Josha yang kebingungan.