PART 16

Suara yang cukup ramai itu memenuhi gedung yang ternyata sedang diselenggarakan, acara pernikahan. Hisyam memasukkan celananya ke dalam saku celana hitam yang ia gunakan. Hari ini ia hanya memakai setelan jas warna hitam, dengan kemeja warna putih. Tidak, ia tidak menggunakan dasi, terlalu formal kesannya. Ia membuka dua kancing teratas dari kemejanya itu. Rambutnya dipoles serapi mungkin.

Pada akhirnya, karena paksaan teman temannya, ia harus ikut menghadiri acara pernikahan sang mantan. Tidak dipungkiri, matanya mencuri curi pandang ke arah sang mantan, yang berada di kursi pelaminan, sedang tersenyum menyambut tamu yang datang. Di sebelahnya ada suaminya, yang juga sedang menyambut setiap tamu.

flashback on

“Kita putus aja, ya Syam.”

“Alasannya?”

Perempuan dengan rambut sebahu ini memilih diam tidak menjawab.

“Kenapa? kenapa diem? aku ga pernah nuntut apa apa Han. Aku ga pernah ngelarang kamu buat ngelakuin hal yang kamu suka, selama ini kita pacaran aku ngerasa baik baik aja? ok kadang kita berselisih paham dan akhirnya kita bisa selesein itu. Tapi, ini maksudnya apa Han? kenapa tiba tiba kamu minta kita putus?”

Hanna menatap wajah Hisyam. Sejujurnya ia pun tak ingin mengatakan hal ini, namun bagaimana? desakan orang tuanya yang membuatnya harus membuat keputusan terberat.

“Orang tuaku ga setuju, Syam.”

Sekarang giliran Hisyam yang terdiam.

“Selama ini? kita udah hampir 7 tahun Han kalau kamu lupa. Dan selama ini orang tuamu bukankah baik baik saja? Gini, kalau emang mereka ga setuju, kenapa ga dari dulu? oke sebutin alasannya, kenapa orang tua kamu ga setuju sama hubungan kita?”

Hanna menarik nafas terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab, “Dari awal memang ayah sama ibu setuju sama hubungan ini Hisyam. Mereka suka sama kamu, kamu baik, sopan santun, ga neko neko. Hubungan kita bukan hubungan baru Hisyam. Aku sering ditanya, kapan mau melangkah ke arah yang lebih serius, aku—”

“Aku siap. Aku udah siap Han kalau hubungan ini kita bawa ke arah yang lebih serius.”

Hanna memegang tangan Hisyam, dan mengelusnya perlahan, “Aku belum selesai Hisyam, tunggu aku selesai dulu ya … Aku juga mau buat dibawa ke arah yang lebih serius. Siapa sih yang ga mau hubungan dengan orang yang dicintainya akan sampai ke jenjang pernikahan? tapi Hisyam, ketika ayah sama ibu tahu pekerjaanmu, mereka ragu.”

Hisyam mengerutkan keningnya, “Apa yang salah menjadi seorang arsitek?”

Hanna menggeleng pelan, “Bukan, bukan karena arsiteknya, tapi pekerjaanmu yang kesannya tidak tetap. Kamu hanya seorang freelance arsitek, tidak ada pendapatan tetap setiap bulannya, kalau di satu bulan ga ada project yang dateng, kamu ga dapet apa apa kan? ayah ibu takut kalau kamu ga bisa membahagiakanku dengan sebaik mungkin.”

Hati Hisyam mencelos, alasannya itu? hanya karena ia tidak bekerja kantoran seperti yang lain, maka masa depannya dianggap suram? Jujur, Hisyam merasa sakit hati. Dirinya dianggap tidak berkompeten dan dilihat sebelah mata.

“Aku … ga tau harus bilang apa.” jawab Hisyam.

Hanna yang sejak tadi memegang tangan Hisyam, menarik tangannya. “Maaf Hisyam, aku ga bisa melawan orang tuaku.”

“Kamu ga mau kasih aku kesempatan Han? kesempatan buat meyakinkan orang tuamu?”

“Percuma, orang tuaku tetap dengan pendiriannya. Maaf Hisyam, semoga kamu mendapat yang lebih baik dari aku, aku pamit.” Hanna beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Hisyam yang masih berusaha mencerna semuanya.

flashback off

Ingatan itu kembali datang, ingatan bagaimana ia diputuskan begitu saja hanya karena status pekerjaannya.

“Syam, ayo ikut antri buat salaman.” Ajak Daris.

Hisyam dengan ogah ogahan mengikuti teman temannya, mengantri untuk bersalaman dengan pengantin. Kebetulan sekali, orang tua dari Hanna sedang bertemu dengan tamu di tempat vip, sehingga Hisyam hanya akan bertemu dengan Hanna, suaminya, dan kedua orang tua dari suaminya.

Sampailah pada giliran dirinya yang akan bersalaman dengan Hanna.

Hisyam tersenyum kecil, “Selamat Hanna, semoga menjadi keluarga yang berbahagia.”

“Hisyam … maka—”

Beum selesai berbicara, Hisyam berlalu dan melanjutkan ucapan selamatnya kepada suami Hanna, lalu dilanjutkan bersalaman dengan kedua orang tua dari suami Hanna. Lalu ia turun dari tempat pelaminan, dengan tatapan Hanna yang terus menuju padanya.


“Dis, gue ga ikut salaman ya. Malu ga kenal.” Ucap Alisha.

“Ih, ga apa apa lah. Ayo bentar aja.” Gadis memegang tangan Alisha, takut takut Alisha kabur dari hadapannya. Alisha hanya menghela nafas pelan. Untung saja ia tadi menggunakan baju semi formal, ia tidak tahu bahwa acara yang dimaksud adalah acara pernikahan teman kantor Gadis.

Sampai akhirnya ia bertemu dengan sang pengantin.

“Hanna! selamat yaa! semoga berbahagia selalu, ditunggu momongannya.” jawab Gadis sambil melakukan gerakan cepika cepiki.

“Aamiin Gadis, ditunggu buat nyusul ya.” Keduanya tertawa, lalu Alisha juga dengan malu malu mengucapkan selamat dan memperkenalkan sebagai teman Gadis. Setelahnya mereka turun dan berjalan ke arah tempat makan.

“Al gue mau ke temen gue dulu bentar ya, tuh disitu. Lo duluan aja ok.”

Belum juga Alisha menjawab, Gadis suda berlalu dengan berlari kecil menghampiri teman teman kantornya. Alisha merasa asing di tengah keramaian ini. Pasalnya ia tidak kenal siapapun, Gadis memang benar benar tidak berperipersahabatan.

Akhirnya, Alisha memilih untuk mendatangi tempat yang menyediakan dimsum. Di depannya masih ada orang yang juga sedang mengantri untuk mengambil dimsum.

Setelah orang di depannya selesai dan berbalik ke arahnya, Alisha membulatkan matanya lalu reflek memegang tangan orang itu, “Hisyam.”

Hisyam yang sejak tadi agak menunduk, langsung mengangkat kepalanya, terkejut karena mendapati Alisha di depannya, dan lebih terkejut lagi, ketika Alisha memegang tangannya.

“Al, kok lo bisa kesini?”

Alisha merasa mendapatkan harta karun, ketika bertemu Hisyam. Wajahnya begitu sumringah, akhirnya ada orang yang ia kenal.

“Gue diajakin temen gue. Katanya ini acara nikahan temen kantornya. Eh temen guenya lagi ketemu temen temen kantornya yang lain, terus gue ditinggal sendirian. Untung gue ketemu lo.” tanpa sadar, Alisha meremas tangan Hisyam karena saking senangnya.

“Oke oke, tapi ga usah dipegang kenceng juga Al, gue ga akan kabur.” Setelah sadar apa yang dimaksud Hisyam, Alisha melepas pegangan tangannya.

“Maaf … gue kalau kesenengan suka ga sadar hehe.”

“Ga apa apa. Lo ikut gue aja, eh mau ambil dimsumnya dulu?” Alisha mengangguk, lalu ia pamit sebentar untuk mengambil dimsunnya.

Setelahnya, ia mengikuti arah jalan Hisyam. Hisyam berjalan mencari tempat duduk yang kosong, dan setelah bertemu, ia segera mengajak Alisha untuk duduk bersamanya.

“Kesini sama siapa Syam?” tanya Alisha sambil memakan dimsumnya.

“Sama temen temen gue. Ini yang nikah temen sma.”

Alisha ber-oh ria. “Terus temen temen lo pada dimana?”

“Tuh disitu, yang pada ngumpul.” Alisha memperhatikan arah tangan Hisyam, dan ia melihat kumpulan beberapa lelaki yang sedang berbincang.

“Ih lo kesana aja gapapa Syam, kumpul sama temen lo. Gue disini aja sambil nunggu temen gue.”

“Santai, mereka sohib gue, jadi sering ketemu juga. Masa iya gue ninggalin lo Al, terus ya ga mungkin juga gue bawa lo kesana.”

“Hah? kenapa?”

“Anak anaknya ga pada jelas, nanti lo stress ngadepinnya.” Alisha tertawa ringan mendengar jawaban Hisyam.

“Eh Al, berarti nanti bareng gue langsung dari sini aja ketemu kontraktornya.”

Alisha seakan diingatkan bahwa ia memang ada janji dengan Hisyam dan juga kontraktornya.

“Boleh boleh nanti kita kesana.”

Sampai makanannya habis, Gadis masih belum juga muncul di depan Alisha.

“Gadis kemana deh, tadi bilangnya bentar.” ucapnya pada diri sendiri.

“Mau cari? gue temenin.”

“Eh gue sendiri aja.” Alisha berdiri dari tempat duduknya, berniat mencari Gadis, pasalnya ia akan memberitahu bahwa nanti pulang, ia tidak akan menebeng kembali kepada Gadis.

“Takut ilang Al, disini rame.”

Alisha mengerutkan keningnya. Ya memang benar di sini ramai, tapi ia bukan anak kecil yang akan tersesat lalu kebingungan dan akan menangis karena tidak bisa bertemu orang tuanya.

Apalagi, ini hanya gedung, bukan tempat outdoor seperti hutan misalnya.

Melihat Alisha yang masih setia dengan posisinya, Hisyam kembali berbicara, “Alisha, ayo.”

Alisha akhirnya menurut, ia berjalan di samping Hisyam.

“Acara nikah itu seru, cuma persiapannya aja yang bikin pusing.” ucap Alisha.

“Sebelum sama sesudahnya juga pusing kayaknya Al? kayak lo sudah memasuki kehidupan yang benar benar baru.” tutur Hisyam yang diangguki Alisha.

“Setuju. Kehidupan pernikahan tidak sebahagia seperti di cerita, tidak seromantis seperti yang dibayangkan ketika berpacaran, tidak semudah yang diharapkan. Banyak lika liku yang harus dilalui. Tambahannya, lo ga bisa mikirin itu sendiri, lo harus mikir gimana perasaan pasangan lo. Itulah kenapa sebelum nikah, lo harus bener bener cari pasangan yang baik, karena menikah itu jangka panjang.”

Hisyam menoleh ke arah Alisha, “Ucapan lo kayak—”

“Nak Hisyam?” langkahnya terhenti, begitupun juga dengan ucapannya. Hisyam melihat kearah depan.

Ayah dan Ibu Hanna.

“Halo, om tante. Gimana kabarnya?” ucapnya menyapa dengan sopan.

“Baik. Kamu gimana? Masih kerja apa itu yang arsitek kan?” tanya Ibu Hanna.

“Baik tan, iya masih kok tan.”

“Udah kerja di kantor? apa masih kayak dulu?” tanya Ayah Hanna.

Hisyam cukup merasa tidak enak ditanya seperti itu, entah memang ia yang sensitif atau bagaimana. Akhirnya Hisyam hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Nak, om kasih tau. Pekerjaan seperti itu tidak ada jaminan untuk masa depan, kamu nanti menikah, mau dikasih makan apa anak istrimu kalau kerjaanmu seperti itu?”

Alisha yang mendengar itu, bingung untuk bereaksi seperti apa. Ia merasa berada di situasi yang cukup menegangkan, dan dirinya merasa tidak nyaman.

“Lihat Hanna, sekarang suaminya anggota dpr. Terjamin itu masa depannya. Hanna juga rencananya bakalan resign dari kantornya. Lah iya lebih baik begitu, karena kebutuhannya sudah terjamin oleh suaminya yang anggota dpr itu.”

Hisyam masih terdiam, sedangkan Alisha, cukup terkejut akan penuturan bapak bapak di depannya itu. Ia paham bahwa sekarang Hisyam sedang direndahkan.

“Kalau saja Hanna masih denganmu, ia pasti masih harus bekerja karena mencukupi kebutuhan kalian. Kasihan sekali anakku, tidak bisa bahagia jika menikah denganmu.”

Ucapan Ayah Hanna itu benar benar membuat Hisyam sakit hati. Siapa yang tidak sakit hati direndahkan seperti itu? Namun apa yang Hisyam lakukan? ia hanya terdiam tanpa berniat melawannya.

Hisyam merasakan jari jemari tangan kirinya, direngkuh, oleh tangan halus namun lebih kecil dibandingkan miliknya. Ia melihat ke arah tangannya, dan terkejut karena jemarinya saling bertaut dengan jemari Alisha. Dengan segera ia mengalihkan pandangannya ke arah Alisha.

“Iya pak, anak bapak sudah mendapatkan si ANGGOTA DPR. Dan Hisyam sudah mendapatkan saya. Maaf jika kesannya tidak sopan ya pak, bagi saya tidak ada salahnya dengan pekerjaan Hisyam. Memang apa yang salah jika ia tidak bekerja di kantor seperti MENANTU bapak itu? asalkan Hisyam tidak mencuri atau melakukan hal yang tidak baik, bagi saya tidak masalah. Lalu, apa salahnya jika sudah menikah, dan seorang istri tetap bekerja, walaupun, suaminya bisa memenuhi semua kebutuhannya? bukankah akan lebih baik menjadi seorang perempuan yang mandiri? tidak bergantung kepada laki laki. Karena kita tidak tahu di masa depan akan seperti apa. Maaf pak kalau kepanjangan, semoga bapak dan ibu bisa mengerti, bahwa merendahkan orang lain, bukanlah hal yang terpuji.”

Alisha berjalan sambil memegang tangan Hisyam, lalu seketika ia berhenti. Ia menoleh ke arah Ibu dan Ayahn Hanna dan berkata, “Pak, Bu, hidup itu berputar seperti roda. Kadang kala ada diposisi teratas, atau sebaliknya. Hanya mengingatkan.” Lalu dengan acuh ia kembali berjalan diikuti oleh Hisyam yang masih terkejut dengan tindakan Alisha.

Sampai di tempat yang tidak begitu ramai, Alisha berhenti. Ia berbalik ke arah Hisyam, masih dengan tangan yang saling menggenggam.

*“AH sumpah gue kesel banget, bisa bisanya ada orang kayak gitu. Sombong banget itu orang, kayak bakal ngerasa hidup bakalan makmur terus. Mana ngerendahin orang lagi, emang kerja harus selalu kantoran apa? kan yang penting halal?! IH KUNO BANGET PEMIKIRANNYA. SUMPAH YA PENGEN BANGET DITERUSIN KALAU GA SADAR—”

“Makasih.”

Ucapan Alisha terpotong ketika mendengar suara Hisyam.

“Makasih ya Al. Lo pasti mikir gue sepayah itu karena malah lo yang lindungin gue. Tapi tadi gue bener bener bingung mau ngebales apa, jadi, makasih ya.”

Alisha terdiam. Matanya menyiratkan kesedihan, tidak, ia tidak pernah berpikir seperti itu. Ia paham bagaimana perasaan Hisyam, karena ia pernah diposisi seperti itu, direndahkan.

Dulu juga ia tidak bisa melawan, rasanya semua ucapan tertahan di tenggorokan, dan akhirnya ia hanya bisa terdiam menerima semua ucapan menyakitkan untuk dirinya.

“Sekali lagi, terima kasih Alisha. Terima kasih karena udah bantu gue.”

Dengan tangan yang saling menggenggam, dengan tatapan dari keduanya, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, hari ini, akan menjadi salah satu kenangan bagi mereka berdua.