PART 13

“KAAAAAK!!! AYOOOOO!!” teriakan dari Alisha menggema ke seluruh ruangan apartemennya. Josha keluar dari kamarnya setelah menggunakan jaket dan topi.

“Al masih pagi udah teriak teriak aja.” Alisha berjalan lebih dahulu ke arah pintu, membawa sepatu dari rak lalu memakainya.

“Bubur bapak itu telat dikit kita ga akan kebagian kak, makanya harus buru buru.”

Josha hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti Alisha berjalan keluar apartemennya.

“Emang seenak itu?” tanya Josha. Alisha mengangguk, “Selain enak juga di sini ga ada lagi kak, ada sih. Tapi jauh banget. Itu yang paling deket. Terus lengkap, ga cuma jual bubur tau, tapi ada lontong kari, nasi kuning, kupat tahu. Gue udah coba semua. Enak enak.”

Alisha dan Josha menunggu di depan pintu lift.

“Dek, maaf ya?”

Alisha menoleh ke arah Josha dengan dahi yang berlipat.

“Karena?”

“Hm … maaf gue malem malah bahas topik itu … lagi.”

Alisha hanya mengangguk kecil, “Ga apa apa, udah ya kak. Itu masa lalu dan gue emang udah ga mau lagi bahas itu.”

Keduanya terdiam sambil menunggu liftnya terbuka.

*“Kak, dia baik sebenernya. Baik banget, gue tau. Tapi—”

Ting!

Suara pintu lift terbuka, di dalam sudah ada beberapa orang yang sepertinya akan turun ke lantai bawah. Alisha dan Josha masuk ke dalam lift tersebut. Tombol lantai 1 sudah menyala itu tandanya mereka tidak perlu menekannya kembali.

“Udah Al, ga usah dilanjut. Gue paham.” ucap Josha pelan sambil mengelus pundak adiknya itu.


Memang benar, tempat tukang bubur itu sudah dipenuhi pelanggan. Bahkan sepertinya mencari tempat duduk yang benar benar kosong pun susah. Sampai akhirnya, ada dua orang pelanggan yang sudah selesai, tanpa basa basi, Alisha menarik tangan kakaknya untuk segera duduk di tempat tersebut. Takut keburu diambil orang lain.

“Lo mau apa Al? bubur kayak biasa ya?”

Alisha mengangguk, Josha bangkit untuk memesan makanannya. Alisha bubur tanpa kacang, sedangkan Josha memilih untuk membeli lontong kari. Setelahnya, Josha kembali duduk di hadapan Alisha.

“Penuh banget serius.” ucapnya.

“Kan apa kata gue, lo telat sedikit udah bakal ga kebagian.”

Selang beberapa menit, pesanan mereka pun datang. Untuk ukuran harga 7.000 sampai 10.000 ini sangatlah murah, ditambah porsinya yang banyak. Alisha menuangkan beberapa sendok sambal, ditambah dengan kecap. Tak lupa ia mencomot satu tusuk sate usus ayam yang tersedia.

“Jangan kebanyakan dek sambelnya, nanti sakit perut.”

Alisha hanya mengangguk ngangguk, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kalau ga pedes ya ga nikmat, prinsipnya.

Suapan pertama mampu membuat Josha membulatkan matanya sambil berkata “Woah.”

Ternyata benar, rasanya seenak itu. Kuahnya kental, rasa gurih manis asin pedas bercampur menjadi satu, tanpa ada yang mendominasi. Sepertinya ini akan menjadi tempat sarapan favoritnya.

Dibanding Alisha, Josha lebih cepat selesai makan. Suapannya lebih besar. Sedangkan Alisha, mengunyah pun butuh waktu beberapa detik. Maka sekarang tersisa Josha yang menunggu adiknya selesai makan.

“Dek cepetan gue mules.”

“Pulang duluan aja gue masih banyak.”

Begitulah percakapan di antara keduanya.

“Bungkus aja dek sisanya, ayo, gue mules.” Josha mengaduh, bisa bisanya ia mules ketika sedang makan di luar seperti ini.

“Males ah kak, tanggung, udah lo duluan aja. Lo mengganggu kenikmatan gue. Gue abis ini masih mau jajan kue cubit itu tuh.”

Akhirnya, daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, Josha memilih untuk pulang duluan, meninggalkan Alisha yang tetap santai menikmati sarapannya pagi ini.

Saking menikmatinya, Alisha tidak sadar bahwa bangku bekas kakaknya itu sudah terisi kembali.

“Hm anteng banget ya yang lagi sarapan.”

Karena mendengar suara yang tidak asing, Alisha menoleh ke arah sumber suara.

“Lah Hisyam?”

Hisyam terkekeh pelan, “Sendirian aja Al?” tanyanya.

“Engga, tadi bareng kakak gue, cuma dia mules abis makan terus pulang duluan.”

Hisyam tergelak mendengar jawaban Alisha, sampai akhirnya pesanannya datang, bubur.

Selagi menuangkan bumbu ke dalam mangkuk buburnya, Hisyam kembali mengajak Alisha berbincang, “Lo sering Al makan di sini?”

“Hm lumayan? tapi biasanya kalau gue beli, jarang makan di sini.”

“Oalah pantes ga pernah ketemu. Gue langganan makan di sini soalnya.”

“Enak banget kan ya?”

Sambil menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya, Hisyam mengangkat jempol tangan kirinya. “Setuju. Mana murah juga porsi banyak.”

“Iya banget! gue sampe mikir ini bapaknya jualan emang ga mau cari untung apa gimana.”

Hisyam tertawa yang membuat Alisha, terdiam sebentar.

Tawanya, ekspresinya, membuat siapapun akan terdiam untuk sekedar mengagumi ketampanan Hisyam. Siapa yang tidak setuju bahwa Hisyam memiliki paras yang menawan? maka penglihatannya perlu diperiksa.

“Ya pasti buat dapet untung Al, cuma mungkin ga besar besar banget. Cuma lo bayangin aja, walau ga besar nih, tapi kalau setiap hari yang dijualnya habis, apa ga gede tuh untung di akhirnya? kalau gue sih … Al? halo? lo kok ngelamun?”

Hisyam yang menyadari bahwa pandangan Alisha tertuju pada satu titik itu melambaikan tangan tepat di depan muka Alisha.

Alisha yang menyadari itu segera tersadar, ia mengerjapkan matanya dan sudah pasti, rasa malunya akan meningkat lebih besar. Bisa bisanya ia kepergok seperti itu.

“Masih pagi Al, jangan ngelamun. Kesambet jin pagi.”

“Lah? emang jin ada pembagian waktunya?”

“Ada, mereka kan kerja shift shiftan.”

“HAH? lo pikir kerja kantoran apa.”

Alisha mendumel tapi tetap diakhir, ia tertawa mendengar candaan kelewat receh dari Hisyam.

Setelah keduanya selesai menikmati sarapan dan tidak lupa membayarnya. Alisha berjalan ke arah tukang kue cubit yang sudah ia incar sejak tadi.

Sedangkan Hisyam memilih agak menjauh untuk melakukan kegiatan rutinnya setelah makan, apalagi kalau bukan merokok.

Alisha menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari Hisyam dan setelah menemukannya ia mengangguk kecil. Ia kira Hisyam sudah pulang terlebih dahulu.

Sekitar 10 menit, pesanannya jadi, dua bungkus kue cubit. Setelah membayar pesanannya, ia berjalan ke arah Hisyam.

Hisyam yang melihat Alisha sudah selesai, segera mematikan rokoknya.

“Jaga jarak Al.” ucapnya.

Alisha berhenti melangkahkan kakinya, “Kenapa?” tanyanya.

“Gue abis ngerokok, asapnya masih ada, jangan dulu deket.”

Serius, mereka berbicara dengan jarak yang lumayan.

“Mau pulang?” tanya Hisyam dengan suara yang agak ia kencangkan, Alisha mengangguk.

*“Iya. Gue pulang duluan ya ini—”

“Gue anterin, tapi sebentar ya gue ilangin bau rokoknya dulu.”

Untungnya, Hisyam tidak pernah lupa membawa parfum berukuran kecil yang bisa ia bawa kemanapun. Untuk menghilangkan bau rokok yang mungkin sempat menempel di bajunya. Setelah selesai, ia berjalan ke arah Alisha.

“Yuk.” ucapnya.

Keduanya berjalan beriringan. “Kenapa lo nganterin gue Syam? kan ini pagi, bukan malem kayak waktu itu.” Tanya Alisha pada akhirnya.

“Sekalian olahraga pagi.”

Alisha hanya ber-oh ria. Kebetulan pagi hari ini cukup cerah, bahkan langit pun terbebas dari awan. Udara pagi hari yang terasa segar, memang cocok untuk berjalan jalan pagi, mencari angin.

“Project lo ada dimana aja, Syam?” demi memecah keheningan, Alisha memilih untuk mencoba bertanya.

“Soetta, Lembang, Buah Batu, sama yang punya lo, Al. Banyak ya hahaha lumayan lagi jarak jaraknya.”

“Wih Lembang, tiap kesana ke itu dong floating market.”

“Hahahaha ya mana sempet Al, udah habis waktunya sama di proyekan. Tapi pernah sih sesekali.”

Keduanya berbincang sambil terus menelusuri jalan.

“Gue seumur umur belum pernah. Ke ranca upas juga belum pernah.”

“Masa?” Hisyam menoleh karena ia cukup terkejut mendengar ucapan Alisha.

“Iya hahah kayak belum nemu waktu yang pas aja.”

“Kesana juga waktunya lumayan emang Al, apalagi weekend, udah lah macet pasti.”

Alisha mengangguk setuju dan tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di depan apartement Alisha.

“Makasih ya Hisyam.”

“Iya sama sama. Udah jangan kebanyakan bilang makasihnya.”

Alisha terkekeh, ia menyodorkan salah satu kantong plastik berisikan kue cubit ke arah Hisyam.

“Apa?” tanya Hisyam.

“Nih ambil.”

“Apaan?”

“Kue cubit.”

Hisyam mengambil kantong plastik tersebut.

“Tiba tiba?”

“Abis makan, lebih enak makan kue cubit. Hehe. Udah ya gue masuk duluan, dadah Hisyam.”

Belum sempat menjawab, Alisha sudah berlalu dari hadapan Hisyam, meninggalkan Hisyam yang tersenyum sambil memegang kantong plastik berisikan kue cubit.