Melawan Gengsi

[Author’s pov]

Suara pintu kamar Hendry diketuk terdengar. Siapa lagi kalau bukan Laksa, orang mereka cuma berdua dirumah.

“Buka aja, ga dikunci.” jawab si empunya kamar. Pintu perlahan terbuka dan memperlihatkan seorang Laksana Adiyatama disana.

“Beres beres, bagi dua aja.”

Hendry yang sedang tiduran itu segera bangun dan menatap ke arah Laksa. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan namun semuanya tertahan di tenggorokan, seakan mereka menahan diri untuk tidak keluar. Alhasil yang bisa Hendry lakukan hanya mengangguk seperti orang bodoh.

Laksa menghela nafas gusar, dan segera berbalik, berjalan menuju dapur. Diikuti oleh Hendry di belakangnya.

“Lo mau apa?” tanya Laksa.

“Hah?”

“Maksudnya, lo mau bagian apa?”

Hendry menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Bebas apa aja.”

Laksa membalikkan badannya, sedangkan Hendry mundur beberapa langkah.

“Kalau bebas malah bingung, pilih aja biar gue sisanya.”

“Gue...beresin kamar.”

“Yaudah gue nyuci sama jemur. Halaman belakang lumayan banyak, berdua aja ntar.”


“Laksa..” panggil Hendry dengan suara pelan.

Laksa yang sedang memasang sarung tangan hanya menjawab dengan dehaman.

“Nanti rumput yang udah dipotongnya dibuang kemana?”

“Coba cari di dapur, di tempat lemari yang isinya kresek doang, ada karung ga. Kalau ada pake itu aja.”

Hendry berlari ke dalam rumah, mencari karung sesuai petunjuk Laksa. Beruntungnya, karung itu tersedia banyak. Karung bekas beras yang biasa mereka beli. Hendry membawa beberapa karung ke halaman belakang.

“Ini ada.”

“Simpen aja disitu, nih lo pake gunting, gue pake sabit.”

Mereka berdua memotong rumput dengan hening, tidak ada satupun yang berucap, entah karena terlalu fokus memotong rumput atau malah bingung menentukan apa yang mau diucapkan.

Bahkan hingga selesai kegiatan memotong rumput, mereka berdua masih betah untuk saling diam.

Hendry dan Laksa memilih duduk di rumput, dengan keringat yang mengucur. Lumayan ternyata, padahal halaman belakang mereka masih terbilang berukuran sedang, dikerjakan berdua, tetap saja membuat lelah.

“Gue mau ambil minum dulu, lo mau juga?” tawar Laksa yang diangguki Hendry.

Bahkan mereka baru ingat, sejak dari tadi mereka belum minum apa apa, pantas saja tenggorokan terasa kering.

Laksa terlihat berlari ke arah Hendry, Hendry yang sedang mengipasi badannya menggunakan handuk kecil itu melihatnya dengan kening berkerut, bukannya tadi mau bawa minum? kok kosong ga bawa apa apa?

“Hen, air galonnya abis.”

“Hah?”

“Ga ada air.”

“Sama sekali?” Laksa mengangguk.

“Di kulkas? biasanya kan ada yang dingin?”

“Kosong Hen, ga ada sama sekali.”

“Ah anjir gue udah seret.”

“Ya sama lah. Gimana? Mau beli ga?”

“Hari weekend kan tutup, baru buka lagi hari Senin, Sa.”

Laksa mengacak rambutnya kasar sedangkan Hendry cuma bisa mengerutkan keningnya.


“Mau sekalian makanannya ga?” tanya Laksa sambil ngescroll aplikasi gofood.

“Boleh, gue laper soalnya.”

“Apa ya? yang cepet ga pake lama.”

“Kalau ga kfc ya richeese, tapi minumnya mau chatime.”

“Banyak mau lo.”

“Dih laper gue mah.”

“Emang doyan bukan laper itu mah.”

“Nah itu tau, Sa hehehe.”

“Udah gue pesen, kfc sama chatime. Lo japanese sakura sencha pake topping boba, semuanya normal, large. Kfc gue pesenin ayam bagian dada yang original, nasi, sama kentang ukuran large. Bener kan?”

Hendry menatap Laksa dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Hen lo ga usah natap gue gitu, agak serem soalnya.”

Hendry terkekeh pelan, “Iya bener, Sa. Lo tau kan apa yang sering gue pesen.”

Laksa mengangguk dan memesan pesanannya. Baik Hendry ataupun Laksa mereka akhirnya fokus dengan ponsel di tangan masing masing.

“Hendry.” panggil Laksa.

“Hm.”

“Sorry.”

Hendry menyimpan ponselnya, begitupun Laksa.

“Sorry kemarin gue lagi emosi, dan malah ngomong hal yang engga engga. Gue udah salah ngomong yang bikin lo kesinggung. Gue bahkan sampe nonjok lo, sorry, Hen.”

“Sa, gue minta maaf juga, gue juga kemarin emosi. Gue juga nonjok lo, haha. Heran bisa bisanya gue punya tenaga segede gitu. Mana gue sempet nendang kaki lo, masih sakit ga?”

“Udah engga kok. Masalah dirumah Hen?”

“Iya. Lo masalah di kedai?”

Laksa mengangguk.

“Tapi udah selesai?”

Laksa kembali mengangguk.

“Syukurlah, gue juga udah. Ya walau belum sepenuhnya tapi bertahap.”

Laksa menyodorkan tangannya, “Gue mau minta maaf secara resmi.”

“Ahelah kayak apaan aja.”

“Cepetan sih Hen formalitas.”

“ANJRIT GA IKHLAS.”

Laksa tergelak tertawa mendengar celetukan Hendry. Tanpa menunggu lama, Hendry menerima jabatan tangan Laksa.

“Makasih udah mau temenan sama gue, Sa.”

“Makasih udah nerima maaf gue, Hen.”

Pada akhirnya, dua anak manusia yang sempat berselisih paham ini kembali berbaikan. Kembali akur dan kembali menjalin tali persahabatan.

image

image

image

image

Truly great friends are hard to find, difficult to leave, and impossible to forget