— Mancing
Kayaknya hari ini cuaca juga mendukung rencana Pak Haji bersama para anak kostnya, liat deh, pasalnya langit begitu cerah, bahkan awan pun tak terlihat keberadaannya. Padahal, hari hari sebelumnya, tiada hari tanpa diguyur hujan.
Maka dari itu, baik Pak Haji ataupun anak anak, turun dengan senyum mengembang yang tak pernah luntur.
Sebenernya, ini bukan kolam pancing, yang emang dikhususkan untuk mancing, tau kan? nah ini tuh, sungai. Iya betul, mereka mancing di sungai.
“Pak emang disini ada ikannya?” tanya Yasa yang sejak turun dari mobil tadi langsung pergi ke arah sungai, melepas sandal yang ia pakai, lalu langsung masuk ke sungai, adem katanya.
“Ada lah, bapak sering kok kesini dulu.” Jawab Pak Haji seraya menggelar tikar untuk menyimpan barang bawaannya.
“Yailah pak, itu kan dulu. Kalau sekarang ga ada gimana?” Hendry bertanya sambil melepas sepatu dan kaos kakinya.
“Yaudah tinggal beli aja, ada pasar ikan ga jauh dari sini.”
“Terus ngapain sih pak capek capek mancing gini kalau bisa beli?” Teo ngedumel, tapi tetep aja dia ikutan masuk ke air nyusul Yasa sama Hendry.
“Ya gimana saya, saya yang ngajak.” Jawaban Pak Haji yang terkesan nyeleneh membuat Teo mendumel kembali, sedangkan yang lain, hanya menggelengkan kepala sambil menikmati udara segar di pinggir sungai.
“Yasa nemu Yasa nemu!” Teriak Yasa dari jarak yang cukup jauh dibanding abang abangnya itu.
Sudah hampir satu jam mereka mencari ikan tapi hasilnya nihil alias ga ada yang dapet sama sekali.
Daritadi pula anak anak ini mengeluh ke Pak Haji karena katanya capek nyari tapi ga dapet terus.
Jawaban Pak Haji selalu sama, “Masa segitu aja capek? kamu laki bukan?”
Namanya juga masih muda, kesentil dikit harga dirinya langsung ga terima, alhasil mereka kembali nyari walau sebenernya sia sia. Tapi, teriakan Yasa tadi, udah semacam nemu air di gurun pasir, mereka bergerombol lari ke arah Yasa.
“Mana mana coba gue liat.” Laksa dengan antusiasnya narik tangan Yasa.
“ANJIR!” umpat Laksa.
“Kenapa sa?” tanya Kaivan yang baru sampai di tempat mereka berdua.
“Apaan ini mah kecebong.” ini Wisnu yang jawab.
“Makan ini berasa makan angin kali ya? ga kerasa apa apa.” Arjuna mengelus perutnya, lapar bund.
Ini tuh rasanya capek sama kesel. Jadinya, mereka semua cuma bisa menghela nafas pelan.
“Udah lah ga hasil juga, gue mau naik ke atas.” Ucapan Teo barusan diangguki oleh semua dan mereka pun mengikuti langkah Teo untuk kembali.
“Gimana rasanya mancing?” tanya Pak Haji sambil memakan buah apel.
“Mwancwing apwan.” Hendry dengan mulut penuhnya, mereka makan makanan yang dibawa dari rumah. Lebih tepatnya, makanan buatan istrinya Pak Haji.
Pak Haji cuma ketawa yang mana pas ketawa, keriput di wajahnya pun semakin terlihat.
“Tapi seru kan? Kalian anak anak kota pasti jarang main di tempat kayak gini.”
Anak anak cuma ngedengerin sambil mulut yang ga berhenti ngunyah.
“Dulu saya bahkan sering banget mainnya ke sawah, pulang pulang badan penuh lumpur. Kalian anak pertanian kan?”
Kompak semuanya ngangguk.
“Jadi harusnya udah biasa dong main ke tempat kayak gini. Ga ada salahnya kali kali kita main ke alam. Daripada nongkrong di cafe, judulnya aja kumpul, tapi semuanya tetep sibuk sama hp masing masing, bener ga? Tapi kalau ke tempat kayak gini, daritadi hp kalian disimpen di saya, kaliannya disana, walau capek tapi saya yakin, kalian juga menikmatinya.”
Satu persatu mengiyakan ucapan Pak Haji. Capek sih tapi seru, gitu katanya. Terlalu sibuk dengan urusan masing masing, sampai lupa sama namanya main. Bukan hanya anak kecil yang butuh main, kita orang dewasa juga butuh. Bukan juga hanya badan yang butuh istirahat, tapi pikiran kita juga perlu.
Wisnu sama Yasa yang terlihat lebih banyak melamun, eh engga melamun sih, tapi mereka lebih terlihat sangat menikmati dibanding yang lain.
Wisnu sama Yasa, anak yang terlahir dari keluarga kalangan atas. Bagi mereka berdua, ini adalah pengalaman pertamanya.
Wisnu, jangankan main ke alam bebas, main ke rumah teman pun jarang, bisa bisa dimarahi mamanya karena main terus bukannya belajar. Wisnu bahkan bersyukur ia diterima di kampus yang jauh dari rumah orang tuanya. Setidaknya ada kebebasan sedikit yang bisa ia rasakan, walau konsekuensinya, jadwal les dia akan terus bertambah.
Yasa, si anak yang paling dimanja. Kemana mana harus diantar, padahal kerap kali Yasa bilang, “Yasa udah gede mih ga usah dianter terus.” dan bermain ke alam bebas seperti ini sangat tabu bagi seorang Yasa.
Dan bagi yang lainnya, ini menjadi healing, healing dari segala masalah yang sedang mereka hadapi. Rasanya nyaman, seperti pulang ke rumah. Karena diantara mereka, ada yang memiliki rumah namun terasa tak memilikinya.
“Pak, foto dulu kali buat kenang kenangan hehe walau ga dapet ikannya.” Laksa segera berdiri disusul dengan yang lain.
Setelahnya, mereka membisikkan satu kata yang sama di dalam hati mereka.
Gue ga nyesel pindah ke rumah itu.
“Home is not where you are from, it is where you belong. Some of us travel the whole world to find it. Others, find it in a person” — Beau Taplin / The Explorers