Malam Puncak

[Kaivan’s pov]

Gue berlari menaiki tangga menuju lantai dua, lebih tepatnya, gue berlari ke arah kamar Yasa. Sesampainya di depan pintu, gue langsung membukanya dan melihat Yasa yang sedang merapikan tasnya.

“Nih, jaket jangan lupa dibawa.”

“Kak, penuh tas Yasa.”

“Pake Yasa, nanti masuk angin gimana? malam puncak itu beresnya tengah malem. Bawa aja dua tas, yang satu dijinjing yang satu digendong.”

“Ya Allah kak ribet.”

“Mending ribet sekarang atau sakit nanti?”

Yasa enggan menjawab, dia malah mengerucutkan bibirnya. Gue tanpa basa basi, membawa totebag yang ternyata tergelat begitu saja di lantai, anak ini memang ga mau ribet.

“Ini jaket, pake nanti. Ini tolak angin dari Teo, ini kayu putih, panadol, freshcare dari Wisnu. Ini permen dari Laksa, kaos kaki ganti pake yang dari Hendry, lebih tebel. Sama ini, bekel dari Juna, dia bikin udang tepung katanya.”

Yasa mengangguk paham.

“Snack bawa ga?”

“Bawa kak bawa.”

“Yaudah hati hati nanti disana.”

Tidak berselang lama, Hendry datang ke kamar Yasa, “Pulangnya gue jemput, nanti chat atau telfon gue ya Yas.”

“Tapi malem banget kak.”

“Ya emang kenapa? mau pulang sendiri?” tanya Hendry yang dibalas gelengan oleh Yasa.

“Yaudah makasih. Yasa berangkat dulu ya.”

Yasa menggendong tas besarnya dan juga membawa totebag di tangannya. Hari ini malam puncak, atau malam terakhir orientasi fakultasnya, dan memang, acaranya akan berakhir di tengah malam.


[Author’s pov]

“KALIAN SADAR GA APA KESALAHAN KALIAN?” Suara anggota tatib menggema keseluruh ruangan.

“EMANG KALIAN SUDAH MERASA PANTAS UNTUK MENJADI KELUARGA KAMI? HAH? JAWAB!”

“MANA NIH KETUA ANGKATANNYA, MASA DIEM AJA.”

Salah satu peserta mengacungkan tangannya.

“Kamu ketua angkatannya? Berdiri kamu.”

Si anak lelaki tadi berdiri sesuai perintah. Sedangkan yang lain? mana bisa menatap sang ketua angkatan yang akan dicerca, pandangan mereka terpaku lurus kedepan.

“Gimana nih masa ketua angkatannya ga bisa ngatur temen temennya? kamu tau ga temen temen kamu banyak yang ngelakuin kesalahan?”

“Siap tau kang!”

“Terus? kamu diemin aja gitu? masa katanya ketua angkatan, negur gitu aja ga berani.”

Si anak lelaki memilih diam. Jangan lupakan Yasa, anak itu sudah panas dingin karena mendengar teriakan teriakan yang tak henti sejak tadi, rasanya ingin segera selesai namun apa daya.

“Coba saya tanya, apa nih konsekuensi buat mereka yang ngelanggar?”

“Push up kang.”

“Berapa seri?”

“3 kang.”

“SATU SERI KAN SEPULUH KALAU TIGA SERI BERARTI TIGA PULUH DONG. SANGGUP GA TUH?” seorang tatib perempuan mulai memprovokasi.

“YANG NGERASA NGELANGGAR BERDIRI DONG. MASA CUMA KETUANYA DOANG YANG BERANI.”

Beberapa mahasiswa yang memang merasa melanggar mulai berdiri dari tempat duduknya.

“KANG SURUH MAJU KANG, MASA DIEM DI TEMPAT. CUPU AH.”

“YANG MERASA MELANGGAR MAJU KE DEPAN, BARIS MEMANJANG DAN MENGHADAP KE ARAH TEMAN KALIAN.”

Berbondong bondonglah mereka maju ke depan. Yasa memilih meilirik dengan ekor matanya untuk melihat siapa yang maju ke depan.

‘Eh? Nina?’

Nina terlihat jalan diurutan paling belakang dan berdiri paling pojok sebelah kanan. Yasa sedari tadi terus memperhatikannya sambil bertanya tanya, pelanggaran apa yang Nina buat?

“WAH HEBAT NIH BELUM JADI KELUARGA AJA UDAH NGELANGGAR. HEBAT YA NORMANYA GA DITERAPIN. NGERASA BAGUS KAYAK GITU? IYA?”

“3 SET BUAT MEREKA BIKIN JERA GA TUH?”

“TAMBAHIN LAH TAMBAHIN.”

Jika suasana seperti ini, provokator akan semakin banyak dan membuat keadaan semakin memanas.

“ADA YANG KE KAMPUS PAKE SEPATU SELAIN WARNA PUTIH? ADA. ADA YANG BAWA KENDARAAN? ADA. ADA YANG SETIAP DATENG KE ACARA MABIM KESIANGAN? ADA”

Semua kesalahan disebutkan, mereka yang sedang duduk karena tidak melanggar sama sekali, sebenarnya merasa cukup dongkol.

Gini loh, mereka sudah mencoba mentaati peraturan, tapi ada aja yang melanggar. Iya betul yang melanggar cukup satu atau dua orang, tapi yang kena imbasnya ya semua.

“DALAM HITUNGAN 3 SUDAH DALAM POSISI. 1....2....3”

Semua yang ada di depan segera mengambil posisi push up.

“BENTAR KANG, INI YANG CUMA DUDUK GA MAU BANTUIN TEMENNYA? MANA YANG KATANYA SOLIDARITAS? MASA CUMA LIATIN DOANG.”

‘tuhkan serba salah, ga ngelanggar tetep ikutan dihukum, ngelanggar udah pasti, duh pengen cepet selesai aja’ Yasa bangkit dari duduknya dan mulai posisi, katanya sih solidaritas, tapi...yaudahlah.


Dengan mata tertutup dengan lap, angin yang begitu kencang, para mahasiswa baru sedang berdiri mengelilingi api unggun di lapangan belakangan kampus.

Sebentar lagi pengukuhan tiba. Setelah tadi skenario dimarah marahi dari jam 2 siang. Sekarang tepat pukul 10 malam, terbayang kan bagaimana kencangnya angin malam?

Akhirnya Yasa bersyukur karena Kaivan membawakannya jaket, dia jadi merasa bersalah karena tadi sempat cemberut di hadapan kakaknya itu.

Orasi yang disampaikan salah satu kakak tingkatnya menggema, begitu besar suaranya, saling berlomba dengan kerasnya angin.

Hingga akhirnya tiba, beberapa panitia sudah bersiap di belakang mahasiswa baru, memegang syal, yang nantinya akan di sematkan di leher mereka, sebagai bukti bahwa mereka sudah di terima sebagai keluarga.

Yasa merasa ada sesuatu yang menempel di lehernya, lalu terdenger salah satu panitia mengucapka, “Boleh dibuka penutup matanya.”

Segera saja Yasa membukanya dan melihat ke arah lehernya, syal berwarna hijau tua sudah tergantung. Yasa tersenyum. Akhirnya selesai, kegiatan selama hampir satu semester ini selesai.


“Nina!” Yasa memanggil Nina yang sedang berjalan menuju gerbang bawah.

“Kenapa?”

“Eh pulang sendiri?”

Si perempuan mengangguk.

“Kostannya dimana?”

“Di puri.”

“Eh sama kayak Yasa, bareng aja.”

“Yaudah.”

Tanpa basa basi, si perempuan menyetujui.

“Tadi Nina kenapa maju kedepan?”

“Ngelanggar.”

“Oh...”

‘Nanya apa lagi ya?’ ucap Yasa dalam hati.

“Eh iya maksudnya ngelanggar apa, Nin?”

“Ga pake sepatu warna hitam, kebasahan, jadinya pake yang warna lain.”

Yasa hanya mengangguk. Lalu keduanya berjalan dengan hening tanpa ada lagi pembicaraan selanjutnya.