M A A F — D E J U N

Karina menyimpan ponselnya ketika mendengar suara bundanya, “Karin! ada Dejun tuh di luar.”

Mendegar itu, segera saja Karina keluar kamar dan berlari ke arah depan, dan benar, ada Dejun disana. Menendang batu batu kecil, sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia pakai. Lengkap dengan kacamatanya.

Posisi Dejun membelakangi Karina, alhasil Karina menepuk pundaknya. “Dejun.”

Dejun yang merasa pundaknya ditepuk dan ada yang memanggilnya, langsung berbalik badan, ia tersenyum kecil melihat perempuan di depannya itu.

“Halo Karin. Lama ga ketemu.”

Si gadis tertawa, “Lama darimana? di kampus suka ketemu, cuma ga ngobrol aja.”

Dejun mengangguk kecil, perasaannya kini campur aduk, ingin sekali ia mengutarakan seluruh isi hatinya, namun bibirnya terasa kelu. Bingung apa yang harus ia ucapkan.

“Kok diem?” Tanya Karina. Yang ditanya cuma menggaruk kepala bagian belakangnya.

“Gue....mau minta maaf.”

“Gue maafin.”

Dejun menatap Karina tepat dimatanya, secepat itu?

“Gue udah maafin lo, maafin temen temen lo, maafin Lucas juga semuanya udah gue maafin Jun. Gue ga mau memperpanjang masalah, gue juga ga mau hubungan kita malah jadi musuh ke depannya. Yang lalu yaudah biarlah berlalu.”

“Gue nyesel, gue waktu itu tau tapi ga bisa ngapa ngapain. Kayak, gue ga tega buat kasih tau lo sebenernya.”

“Kenapa?”

“Karena gue liat lo sesayang itu sama Lucas, di satu sisi gue ga tega tapi di satu sisi yang lain, gue pengen banget bilang. Jadinya, kalau lo mau tau Rin, tiap gue sama Lucas ketemu pasti berantem. Lo inget kan Lucas pernah luka? yang gue kasih tau waktu itu.”

Karina mengangguk.

“Itu karena kita berantem gara gara lo, gue yang mendesak Lucas buat cepet bilang yang sebenernya, tapi Lucas yang masih ga mau. Gue kepancing emosi jadinya ya gitu hehe.”

Karina menghela nafas pelan, “Boleh gue nanya ga Jun?”

“Hm? boleh. Mau nanya apa?”

“Kenapa lo ngelakuin itu? Maksudnya kenapa lo sampe harus berantem sama Lucas buat buru buru kasih tau gue? Apa karena gue kenal deket sama lo? I mean, diantara lo, Mark, Hendery, gue lebih deket sama lo kan.”

“Karena gue suka sama lo, Rin.”

“Oh...HAH?!” Karina langsung membulatkan matanya, sebentar, pendengarannya masih berfungsi dengan baik kan?

“Jun....lo bohong? ah atau lo cuma mau bercanda doang kan?”

Dejun menggelengkan kepalanya, “Buat apa gue bohong? buat apa gue juga bercanda.”

“Engga...bentar....maksudnya, sejak kapan?” Disini sebenernya Karina lebih ke bertanya diri sendiri, suaranya mengecil namun masih bisa tertangkap oleh indera pendengar Dejun.

“Sejak pertama kita ketemu? yang waktu gue tiba tiba curhat sama lo hahah. Eh disitu masih tertarik sih, tapi makin kesini gue makin suka sama lo.”

Karina baru saja ingin berbicara, namun terpotong oleh ucapan Dejun selanjutnya.

“Kalau lo mikir karena pengen menang taruhan, jawabannya bukan. Gue emang pure suka sama lo. Gue bahkan ga peduli lagi sama taruhan itu, gue ga mau mundur awalnya, tapi liat lo yang cerita tentang Lucas sebegitu semangatnya gue jadi mikir, ‘ah hati perempuan di depan gue udah terisi ternyata’. Jadi yang gue lakukan cuma bisa memendam perasaan ini.”

Karina bener bener ga bisa berkata apa apa lagi, ini semua terlalu mengejutkan, jujur. Kepalanya tiba tiba saja pening dengan fakta ini.

“Terus Jun....sekarang gimana?”

“Perasaan gue?”

Karina mengangguk.

“Masih dan akan selalu sama.” “Cuma mungkin kedepannya bakalan beda, Rin.”

Karina mengerutkan dahinya, “Beda gimana maksudnya?”

Dejun menghela nafas panjang lalu maju mendekati Karina.

“Boleh gue peluk lo?”

Entah bagaimana dan entah mengapa, Karina mengangguk mengiyakan. Dejun merengkuh badan si gadis, memeluknya erat.

“Maaf Rin...maafin gue. Gue yang salah.”

Karina semakin dibuat bingung, maaf untuk apa lagi.

“Ayah lo.....bakalan nikah sama nyokap gue.”

Bagai tersambar petir di siang bolong. Fakta apa lagi sekarang yang harus ia ketahui?

Tubuhnya sudah terasa lemas namun pelukan Dejun menahannya.

“Jun.....”

“Gue juga kaget Rin. Kaget banget. Tapi gimanapun lo harus tau. Seminggu yang lalu tiba tiba mama gue nyuruh gue buat ketemu, katanya mau ngenalin calon suaminya. Gue ketemu, untuk pertama kalinya. Mama gue bilang, kalau calon suaminya punya anak perempuan seumuran gue, dan dengan tiba tiba calon suaminya itu ngasih liat foto anaknya. Dan iya, lo yang gue liat di foto itu. Detik itu juga gue ga tau harus gimana.”

Kedua tangan Karina terangkat memegang bagian pinggir jaket yang Dejun pegang, memegangnya erat karena menahan tangis.

“Kayaknya semesta ga suka kalau gue punya harapan buat bisa sama lo haha.” Dejun tertawa dengan suara getir.

“Gue masih dan akan selalu sayang sama lo Rin. Mungkin bedanya sekarang gue sayang sama lo sebagai saudara, gue akan berusaha buat hilangin perasaan ke lo sebagai perempuan. Kayaknya gue emang harus ngalah lagi.”

Pecah sudah tangisan Karina di pelukan Dejun. Hidupnya begitu penuh kejutan.

“Dejun...maaf.”

“Ssstt...kenapa lo yang minta maaf? lo ga salah, gue yang salah.”

Karina menggelengkan kepalanya, “Lo ga salah sama sekali, emang mungkin jalannya harus gini.”

“Hm iya...baik baik ya Karin adiknya gue.”

Karina langsung melepas pelukan Dejun, “Apa apaan kok adik?”

“Iya lah gue lebih dulu lahir.”

“Emang bulan apa?”

“Agustus.”

“Ck, gue november.”

“Tuhkan berarti lo adik gue haha.”

Karina mengerucutkan bibirnya dan membuat Dejun tertawa lalu mengusak puncak kepala Karina.

“Hati hati ya? kalau ada apa apa lo bisa bilang sama gue.”

Karina mengangguk, “Gue titip ayah ya? ayah itu baik kok sebenernya.”

Dejun mengangguk.

“Mau peluk lagi ga?” tanya Dejun.

Karina tertawa, “Dih keenakan.”

“Peluk sebagai saudara.”

Dejun menarik kembali badan Karina kedalam pelukannya.

Tanpa Dejun atau Karina tahu ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka dari dalam mobil. Siapa lagi kalau bukan Lucas.

Tangannya mengepal menahan emosi, namun ia tidak bisa apa apa, siapa dirinya yang pantas cemburu? padahal statusnya dan Karina pun sudah selesai sejak saat itu.

Mungkin ini waktunya, waktunya ia merelakan. Lucas juga sadar, kesalahan ada pada dirinya, ini akibatnya, dan ia harus menerima.

Mungkin pula, jika sudah jodohnya bagaimanapun caranya, mereka akan bersama. Namun jika bukan jodohnya, bagaimanapun usahanya, mereka tidak bisa bersama.

Lucas memundurkan mobilnya, memilih pulang daripada harus menambah rasa sakit hatinya.

Lucas harus mulai belajar, belajar mengikhlaskan, belajar merelakan, susah memang, tapi ia akan berusaha.

Semuanya telah berakhir, mereka telah memilih jalannya untuk hidupnya, semoga, apapun itu jalannya, mereka bahagia dengan porsinya masing masing.