Kiko — Yuta [First Snow in Tokyo]

image

POV Author

Kiko keluar dari mobil sambil menekan nekan leher dan punggungnya, hari ini cukup melelahkan, kerjaan di kantor nunpuk sampai sampai ia harus merelakan makan siangnya.

“Kiko pulang.” Ucapnya seraya masuk ke dalam rumah.

“Nak, sini sebentar ada yang mau mama sama papa obrolin.”

Kiko melangkahkan kakinya ke ruang keluarga, niatnya ingin mandi air hangat dan langsung berbaring harus ditunda sebentar.

Ia duduk di atas sofa dan menselonjorkan kakinya. Sepertinya hari libur nanti, Kiko akan pergi ke tempat pijat.

“Kenapa ma, pa?”

Papanya terdiam sambil membetulkan kacamata dan posisi duduknya.

“Umur kamu berapa sekarang?”

“Hm? 26? Iya 26.”

“Sudah tahu kan kamu harusnya segera mencari apa?”

Bohong kalau Kiko bilang ia tidak tahu harus mencari apa, pasalnya perbincangan ini bukan sekali dua kali, dan bukan sekali dua kali pula Kiko terus menghindar.

Bukan, bukan ia tidak ingin menikah....ia hanya merasa jika jodoh datang di waktu yang tepat maka yasudah semuanya akan mengalir dengan semestinya, iya kan?

“Kiko ngerti pa, tapi iya kalau udah ada jodohnya yaudah.”

“Jangan nunggu doang kamu ya berusaha. Jangan cuma mikirin kerjaan.” Ucap papanya.

Kiko hanya mengangguk dengan malas sambil memijat pelan kakinya.

“Minggu depan, kamu ikut sama papa dan mama.”

“Kemana?”

“Papa sama mama mau kenalin kamu ke anak temen papa.”

Kiko menghentikan kegiatan memijatnya itu. Jujur saja ia merasa terkejut? Maksudnya....sekarang ini ia akan dijodohkan gitu? What the.....

Kiko berdiri dari tempat duduknya, “Maksudnya, mama sama papa mau jodohin Kiko? Engga ya Kiko ga mau. Apaan sih pa ma, jangan berfikiran kolot gitu dong. Kiko bisa nyari sendiri.”

“Itu perintah Kiko. Nunggu kamu yang nyari itu kapan? Sampe kapan hah? Liat kamu aja udah dilangkahi adikmu.”

Kiko menghentakkan kakinya dan berlalu untuk pergi ke kamar. Mood nya hari ini benar benar kacau. Ia kira ketika sampai dirumah, moodnya membaik, namun dugaannya salah. Moodnya malah semakin kacau.

—————————————————

POV Yuta

Sebuah berita kabar tiba tiba terlempar tepat di hadapanku, di atas meja dimana aku sedang menikmati kopi hangat sebagai sarapan.

“Nakamoto Yuta!”

Aku tidak meresponnya, tetap menikmati kopi tersebut tanpa gangguan. Aku sudah tau apa yang akan dibicarakan olehnya, manager-ku.

“Apa kau.....bisa tidak untuk tidak membuat masalah?”

Aku melirik berita kabar tersebut

Nakamoto Yuta Kembali Pergi di Tengah-Tengah Pemotretan yang sedang Berlangsung

“Apa lagi alasan sekarang?” Tanyanya.

“Sakit perut.” Jawabku asal. “Apa jadwalku hari ini?”

“Kau dihiatuskan.”

Aku memandang manager-ku dengan lekat. Apa aku tidak salah dengar? Dihiatuskan?

“Pak presdir yang memintanya. Kau sudah melakukan hal ini berkali kali. Pihak iklan ataupun majalah mengeluhkan hal itu. Kau pikir mudah mengatasinya? Bahkan beberapa meng-cancel karena ulahmu itu.”

Aku hanya diam.

“Gunakan waktu hiatusmu untuk refleksi diri. Kembali dengan Yuta yang lebih baik lagi. Aku pergi.”

Aku masih terdiam. Mereka tidak tahu, ada alasannya mengapa aku selalu pergi di tengah tengah pemotretan dan entah dari kapan ini terjadi.

Setiap lebih dari 1 jam aku berpose di depan kamera, aku akan terkena panic attack.

—————————————————

POV Kiko

Tepat seminggu setelah papa dan mama mengusulkan perjodohan, aku pergi. Lebih tepatnya aku kabur dari rumah, dan pergi ke negara yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya, yaps Jepang.

Aku sampai di Jepang pagi hari. Udara yang begitu dingin karena memang sudah masuk musim dingin. Dan bodohnya aku, lupa membawa baju baju tebal. Maafkan, namanya juga kabur, rencana mendadak. Bahkan izin libur pun baru aku kirimkan barusan.

Aku berjalan ke arah parkiran untuk mencari taksi, untungnya aku sudah tau hotel mana yang aku tuju. Papaku berasal dari Jepang, jadi jangan heran jika aku menguasai bahasa negara ini.

Tidak begitu lama, akhirnya aku bisa sampai juga. Dengan selamat. Tanpa ada drama tersesat.

Setelah check in dan masuk kamar, aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur. Aku bahkan tidak tahu bagaimana reaksi papa dan mama melihat kamar anaknya kosong. Marah sudah pasti tapi....ini hidupku. Aku ingin melakukan semuanya sesuai keinginanku, termasuk mencari pasangan hidup.

Karena aku yang akan menjalaninya, maka aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri.

—————————————————

POV Author

Suara ponsel berbunyi sejak tadi sore, namun si pemilik masih asik di dalam dunia mimpi.

Hingga akhirnya entah panggilan ke-berapa berhasil membangunkan si empunya, Kiko.

Kiko meraih ponsel di atas nakas samping tempat tidur dengan mata tertutup, tangganya menggapai gapai, dan yaps dapat.

Mama

Nama yang tertera di layar ponsel Kiko. Dengan kesadaran yang belum penuh, ia mengangkat panggilan tersebut.

“Hm?” “YA KIKO! KAMU DIMANA?” “Tokyo.” “HAH??” “Tokyo, Jepang.” “KAMU GILA?” “Hm. Karena rencana perjodohan itu aku menjadi gila.”

Kiko menjawab masih dengan mata tertutupnya.

“YAAMPUN DOSA APA MAMA SAMPE PUNYA ANAK GA BISA DIATUR. BISA BISANYA KABUR.”

Kiko mencoba membuka matanya dan bangun dari kasur. Ia menarik nafas dan menghembuskannya beberapa kali, agar jiwanya terkumpul sempurna.

“Ma.” “APA?” “Kiko udah besar, Kiko tau mana yang terbaik dan bukan buat Kiko sendiri. Kiko tau mama sama papa melakukan ini karena khawatir dan ingin yang terbaik buat Kiko kan? Tapi ma, yang menjalani kehidupan Kiko ya Kiko sendiri. Bukan mama atau bukan papa. Kiko cuma ga mau hidup dengan seseorang secara terpaksa. Iya tau, mungkin di awal kita perkenalan dulu. Tapi perkenalannya pun dilakukan secara disengaja itu yang bikin risih. Kiko mau semuanya mengalir apa adanya. Bukannya Kiko udah pernah bilang, kalau jodohnya udah datang, di waktu yang tepat, Kiko juga ga akan nunda lagi kok.”

Tidak ada sahutan dari seberang sana.

“Kiko minta maaf ya udah pergi tanpa bilang bilang. Kiko mau disini sekalian liburan soalnya cuti libur belum pernah dipake. Dah ma i love u.”

19.07

Kiko memegang perutnya yang terasa lapar.

“Keluar deh cari makan siapa tau ada yang enak.”

—————————————————

Disinilah Yuta berada. Duduk di bangku sebuah taman dengan pemandangan air mancur di depannya.

Sudah seminggu ia hiatus.

Dan sudah seminggu pula rutinitasnya lebih banyak di dalam rumah. Yuta masih enggan untuk bercerita kebenarannya kepada manager atau pihak agensi yang lain. Ia masih menimbang apa perlu atau kah tidak?

“Wah ada air mancur!”

Yuta yang sedang fokus menatap ke depan dengan pikiran melayang, teralihkan karena suara perempuan di sebelah kanannya.

Yuta melihat perempuan tersebut dengan tatapan bingung, apa dia tidak kedinginan hanya menggunakan jaket setipis itu?

Perempuan itu tersenyum sambil mengusap ngusap tangannya. Mungkin rasa bahagia karena air mancur mengalahkan rasa dingin yang menyelimuti tubuh mungilnya itu.

Entah ada angin apa membuat Yuta bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah perempuan tersebut.

Yuta melepas syal yang ia pake, lalu menyodorkannya ke arah perempuan itu.

Si perempuan yang sedang sibuk menatap salju menoleh ke arah kiri, mendapati seorang lelaki yang tengah menyodorkan syal miliknya.

“Pakai, udah tau dingin pakenya yang tipis.”

Si perempuan terus menatap lelaki itu.

“Kenapa?” Tanya Yuta.

“Yuta?” Si perempuan balik bertanya.

Yuta memalingkan wajahnya, sial aku lupa menggunakan masker.

“Kau lupa diriku?”

Yuta masih tetap memalingkan wajahnya.

“Dua tahun yang lalu, syal, kopi, dan....” Ucap si perempuan yang menggantungkan ucapannya.

“Bandara.”

Yuta terperanjat, ia ingat sekarang. Ia segera berbalik menatap perempuan di hadapannya itu. Dua tahun lalu, di bandara, ia tidak sengaja menumpahkan kopi dan mengenai syal Kiko.

Syal itu Yuta bawa dengan dalih akan ia cuci.

‘Maafkan aku karena telah menumpah kopinya, syalnya aku bawa dan akan aku cuci. Nanti akan aku balikkan. Namaku Yuta, Nakamoto Yuta.’ Aku masih ingat jelas ucapanmu, setelah itu kau langsung berlalu pergi sambil membawa syal ku. Dan sekarang kau benar benar membalikkanya.” Kiko tertawa renyah sambil meraih syal di tangan Yuta.

Yuta tidak bergeming, ia bahkan tidak ingat bahwa syal itu bukan miliknya, tadi ia mengambilnya acak di lemari.

“Maaf baru aku kembalikan, aku lupa.”

“Tidak apa apa. Terima kasih.” Kiko memakai syalnya.

“Namamu, siapa namamu?” Tanya Yuta.

“Kiko. Namaku Kiko.”

Yuta tersenyum tipis dan dibalas dengan senyuman hangat Kiko. Tepat ketika itu salju pertama turun di Tokyo, Jepang.

-fin-