Keseharian Yasa

[Author’s pov]

Yasa keluar kamar dan melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia membuka rak penyimpanan piring dan mengambil gelas kesayangannya, gelas berbahan kaca dengan gambar snoopy.

Yasa membuka kulkas untuk membawa susu vanilla, lalu ia tuangkan ke dalam gelas tadi. Tenggorokannya terasa segar setelah ia meneguk habis susunya. Yasa menyimpan kembali susu itu ke dalam kulkas dan menaruh gelas ke rak pencucian piring, lalu berjalan ke ruang keluarga. Namun, gerakan Yasa yang akan meninggalkan dapur itu terhenti.

Yasa abis makannya langsung cuci ya? biar ga disemutin.

Pesan dari Kaivan waktu itu membuat Yasa kembali ke tempat pencucian piring dan mencuci gelasnya. Lalu setelahnya, Yasa memilih berjalan ke arah halaman belakang, bertemu dengan sinar mentari di pagi hari.

Yasa sudah terbiasa, maksudnya, harus terbisa untuk hidup sendiri seperti ini.

Sudah sebulan dirinya sendirian di rumah, seminggu awal ditinggal, ia akan menangis di setiap malamnya.

Entah, rasanya begitu sepi, begitu sedih, begitu hampa, begitu kosong.

Biasanya, setiap pagi rumah akan ramai oleh celotehan kakak kakaknya yang saling meneriaki untuk membereskan rumah.

Biasanya, setiap pagi mereka akan sarapan bersama.

Biasanya, di hari libur mereka akan kerja bakti membereskan halaman belakang.

Biasanya, setiap malam mereka akan nonton film bersama, yang pastinya menggunakan laptop Yasa dan akun netflix punya Wisnu.

Biasanya, mereka keluar di malam hari hanya untuk mencari nasi goreng murah dengan porsi banyak.

Biasanya, siapapun yang sedang ada di luar, siapapun yang akan pergi keluar Jatinangor, akan ada kebisaan titip mentitip.

Biasanya....

Banyak kebiasaan kebiasaan yang tidak bisa Yasa lupakan sampai detik ini. Bahkan terkadang Yasa memberikan pesan kepada salah satu kakaknya dan menanyakan kapan pulang.

Sampai akhirnya Yasa sadar sendiri, bahwa mereka memang sudah pulang. Rumah di Jatinangor hanya rumah kedua, rumah singgah, bukan rumah tempat mereka pulang.

Yasa memejamkan mata sambil merasakan kehangatan sinar matahari pagi yang menyapa tubuhnya.

Sekarang, kesehariannya lebih banyak dihabiskan di dalam kamar. Entah mengerjakan revisi, menonton film, bermain game, bahkan sampai makan pun ia lakukan di kamarnya.

Terkadang Yasa juga membersihkan seisi rumah. Atau kalau sudah bosan dengan kegiatan di rumah, ia akan pergi ke perpustakaan kampus untuk melanjutkan revisiannya.

Kerap kali Yasa menangis ketika di telfon maminya, sampai sampai sang mami pusing sendiri. Anak bungsunya menangis karena ditinggal kakak kakaknya.

Maminya bahkan menawarkan agar Yasa membawa teman temannya ke rumah itu, bermaksud agar Yasa tidak kesepian. Namun, hal itu di tolak mentah mentah oleh Yasa.

“No mamih! kalau mereka disini tidur dimana? ga mungkin semuanya di kamar Yasa. ga cukup. dan ga mungkin mereka tidur di kamar kakak kakak. itu semua kamar hak milik kakak, di dalamnya ada beberapa barang para kakak. Yasa ga mau ada yang nempatin kamar itu kalau bukan kakaknya sendiri.”

Memang benar, bahkan Yasa tidak berani memindahkan barang yang ditinggalkan kakak kakaknya. Padahal kakaknya sering bilang, “itu udah ga dipake Yas, simpen aja di luar biar nanti sama tukang sampah dibawa.”

Tapi tidak, Yasa tidak menanggapi suruhan kakak kakaknya itu. Barangnya masih tersimpan di kamar masing masing.

Bagi Yasa, semua yang ada di dalam rumah ini adalah kenangan, ia hanya tidak ingin, ada orang yang ikut campur merubah semua yang ada di dalamnya. Tidak, Yasa tidak rela.

Jadi, biarkan, walau dia harus merasakan kesendirian, ia akan mencoba menikmatinya. Menikmati bergabung bersama kenangan di dalamnya.