‘Kemalingan’
[Author’s pov]
Setelah mendapat chat dari Yasa, Kaivan yang tadinya masih tiduran bergegas buat bangun dan siap siap. Wirga yang baru keluar dari kamar mandi itupun keheranan.
“Mau kemana Kav? bukannya mau ntaran pulangnya?”
“Rumah kemalingan.”
“Hah? serius ga lo?”
“Serius, Yasa ngabarin.”
Kaivan sudah selesai membereskan semua barang dan bersiap untuk pulang.
“Thank you Wir tumpangannya, gue pamit pulang ya.”
“Hati hati...eh btw yang ilang apa?”
“Tv sama laptop gue, udah ya Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tanpa sepengetahuan Kaivan, Wirga mengerutkan keningnya tanda kebingungan, “Bentar, bukannya laptopnya lagi di service ya? baru kemarin dianter perasaan ke tukang servicenya.”
Kaivan menjalankan motornya dengan cukup cepat, ia merasa gusar, yang ia pikirkan adalah bagaimana keadaan mereka. Masalah barang hilang bukan jadi tujuannya saat ini.
Dan disini Kaivan merasa bersalah, harusnya ia tidak kabur seperti ini, harusnya kemarin ia pulang saja ke rumah, dan berbagai macam ‘harusnya’ terus muncul di kepala Kaivan.
Untung jarak kostan Wirga dan rumah tidak begitu jauh, hingga kurang dari 10 menit ia sudah sampai di garasi rumahnya.
Tanpa melepas helm, Kaivan berlari ke arah pintu rumah yang untungnya tidak terkunci, dan ketika ia membukanya.
“SURPRISEEEE!!!!”
Kaivan mematung. Ia melihat teman teman satu rumahnya itu berdiri di depannya, Teo membawakan cup berisi bubur namun diberi lilin diatasnya, entah untuk apa.
Laksana membawa termos dan gelas, ini juga....ga tau tujuannya apa.
Hendry, Wisnu, Arjuna, dan juga Yasa memegang karton dengan tulisan Thank You, Kaivan! You’re The Best!
Seketika Kaivan merasa lututnya lemas, ia yang sudah panik gara gara rumahnya kemalinganternyata hanya prank dari teman temannya.
“Etdah jangan dulu pingsan, susah bawanya kita lagi bawa barang semua.” Ucap Teo.
“Maaf ya kak, tadi Yasa ngebohong soalnya disuruh kakak kakak.”
Kaivan tertawa ringan melihat tingkah teman temannya itu.
“Pegel ga sih?” tanya Wisnu. Tampaknya Wisnu tidak mengenal kondisi dan situasi, untung saja Kaivan peka, “Yuk masuk kita ngobrol di dalem.”
“Kenapa harus bubur? kenapa ga kue? terus ini lilin gunanya buat apa? kan gue ga ulang tahun.” runtuyan pertanyaan Kaivan memenuhi ruang dapur pagi hari itu.
“Gini kang, kenapa ga kue, soalnya di pagi hari yang cerah ini dimana ada toko kue yang buka, kalau tukang bubur mah banyak, tuh di depan komplek aja berjejer kan. Ini lilin buat apa? ya buat dekorasi aja sih kang walau ga ada yang ulang tahun, anggep aja ini perayaan setelah kemarin Kang Kav berjuang dengan baik.” Jawaban Laksana yang panjang itu membuat Kaivan tertawa.
“Kang Kav keren banget tau bisa nyalonin jadi ketua bem, lah si Hendry mah belum tentu.” ini Arjuna yang ngomong, terus abis itu dia dihadiahi geplakan sama Hendry.
“Gue diem ye anjim, masih pagi udah bikin emosi.”
“Kak Kav itu role modelnya Yasa loh, Yasa mau kayak Kak Kav, soalnya kakak keren, jiwa kepemimpinannya keren banget. Terus bisa diandalkan.” Yasa mengangkat kedua jempolnya.
“Noh dengerin Kav, ga usah ngerasa yang aneh aneh lo.” Tau kan siapa yang bilang gini? iya betul itu Wisnu.
“Kita semua bangga Kav jadi temen lo, jadi seseorang kayak lo itu ga mudah. Lo harus memimpin, lo harus bisa jadi pegangan orang orang, lo harus bisa jadi telinga buat mereka. Padahal lo juga manusia yang punya batasan, lo kalah kali ini ga bikin nilai di diri lo turun, sama sekali engga kok Kav. Dan kekalahan lo ini bukan suatu kesalahan ok? Mungkin sekarang waktunya giliran kita, giliran kita jadi sandaran buat lo.”
Hati Kaivan menghangat mendengar ucapan Teo. Benar kata Wirga, rasa malu karena tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka, hanyalah pemikirannya saja. Buktinya lihat, orang orang berkata sebaliknya, mereka bangga atas pencapainnya.
“Ga lucu kalau gue udah mewek pagi pagi, udah ayo makan, buburnya keburu dingin.”
Akhirnya suasana hangat kembali tercipta di rumah itu, hanya makan dengan bubur seharga delapan ribu rupiah mampu membuat ketujuh pria ini merasa cukup. Karena si anggota rumah sudah lengkap berkumpul.
Friendship isn’t about who you’ve known the longest. It’s about who walked into your life, said “I’m here for you” and proved it