Kamu, Cantik

pas tadi bikin, aku sambil dengerin lagu ini. siapa tau kalian mau dengerin juga :D

https://open.spotify.com/track/6CdUgvL597jWmW4w8P5kHs?si=KuR6h6xITEGC3WpXS5liVg&dl_branch=1

Langit di luar begitu cerah, bahkan tidak ada awan yang terlihat satu pun. Melihat hamparan rumah dan gedung dari balik jendela yang cukup besar, menjadi salah satu penghibur baginya.

Si puan yang sedang duduk manis menghadap jendela itu.

Baju piyama berwarna putih dengan motif bunga, tidak lupa cardigan yang cukup panjang ia gunakan. Rambut semi cokelat itu ia biarkan terurai. Badannya kurus, sangat kurus. Matanya berkantung, wajahnya begitu pucat.

Pandangannya kosong. Kepalanya terasa penuh, rasanya berkecamuk. Segala keraguan, ketakutan, penyesalan, rasa sedih, semuanya bertumpuk di kepala gadis itu.

Ini menjadi kegiatan rutinnya, setelah sarapan, ia akan mematung menghadap ke arah jendela, sampai waktu tepat di jam 9.

Seperti sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 9 tepat. Ia bangkit dari duduknya, memegang penyangga infusan dan membawanya serta merta berjalan ke arah kamar mandi.

Benar, si puan sudah dua minggu berada di rumah sakit. Kondisinya sekarang sudah cukup membaik, jika dibandingkan dengan dua minggu yang lalu.

Kalina, namanya.

Ia masuk ke dalam kamar mandi, tidak banyak yang ia lakukan sebenarnya, namun ia mampu diam lama di dalam kamar mandi. Menyalakan air, dan menangis keras.

Tepat di pukul 09.20, akan ada seseorang yang masuk ke dalam kamar nomor 701. Berseragam putih, khas dokter. Membawa setumpuk cemilan dan menyimpannya di meja sebelah tempat tidur pasien. Hal itu sudah ia lakukan selama seminggu terakhir.

Menyimpannya dalam diam. Agar si puan tidak mengetahui pengirimnya.

Namun sayang, sepertinya hari ini, bukanlah hari keberuntungan si dokter. Kalina, keluar dari kamar mandi lebih cepat 5 menit dari biasanya.

Baru saja dokter itu membalikkan badannya, ia sudah harus berhadapan dengan Kalina, yang terdiam mematung.

Pada akhirnya, keduanya mematung bersamaan.

Kalandra, nama si dokter itu.

Kalandra bingung. Ia bingung harus seperti apa. Rasanya benar benar seperti kegep sedang selingkuh. Padahal nyatanya tidak. Tidak mungkin seorang Kalandra berani melakukan hal seperti itu.

*“Ha—”

“Jadi dokter yang selama ini simpen makanan makanan itu?” Sapaan Kalandra terpotong oleh ucapan pelan dari Kalina.

Kalandra menggaruk tengkuk lehernya, ah sudahlah, berbual pun tidak ada gunanya.

“Eh … iya … itu say—”

“Buat apa dok?” kembali, Kalina kembali memotong ucapan Kalandra yang belum tuntas itu.

“Hah?” Kalandra merespon dengan nada bingungnya.

“Kenapa? dokter menghina saya? saya tau dok saya gemuk, ga usah diperjelas pake segala kirim makanan itu semua.”

Kalandra memilih diam, ia hanya mendengarkan Kalina mengungkapkan semuanya. Melihat Kalandra hanya diam, Kalina mendengus sebelum ia kembali berbicara.

“Ah atau dokter emang mau bikin saya tambah gemuk lagi? iya? dokter ngelakuin ini karena dokter ga pernah ngerasain jadi saya. Dokter ga pernah ngerasain gimana rasanya dibeda bedakan hanya karena saya gemuk! Dokter ga pernah ngerasain gimana rasanya diejek setiap hari, sampai rasanya … saya takut untuk melihat dunia … dokter ga pernah ngerasain.”

Nafas Kalina menggebu, rasanya apa yang ia tahan selama ini bisa dikeluarkan.

Kalandra, seorang psikiater atau dokter spesialis jiwa. Bukan, dirinya bukan dokter yang merawat Kalina. Namun ada alasannya mengapa ia melakukan ini.

Sedangkan Kalina, seorang model yang sedang naik daun, dua minggu lalu ia pingsan saat menghadiri acara fashion week. Ia segera dilarikan ke UGD dan ternyata, diagnosa menyebutkan bahwa dirinya mengalami anoreksia nervosa. Ada alasannya juga, mengapa ia seperti ini.

Kalandra melangkahkan kakinya, berniat untuk menenangkan Kalina yang sudah mulai terguncang.

“STOP!”

Kalandra terpaksa menghentikan langkahnya, masih memperhatikan Kalina yang memegang erat tiang penyangga infusannya. Bibirnya bergetar, sampai akhirnya bulir air mata itu keluar dari mata sayunya. Kalina menangis.

“Kalina.” Panggil Kalandra.

“Katanya … kata mereka … saya jelek.” Kalina mengusap air matanya dengan kasar.

“Katanya … kata mereka … saya gemuk dan jelek.”

“Katanya … kata mereka … saya ga pantes … buat hidup.” dan tangisannya semakin menjadi.

Ia menangis, benar benar menangis, hingga mengeluarkan suara yang cukup keras.

Sejak dulu, dunianya tidak adil. Dulu, Kalina selalu dirundung karena berat badannya yang cukup besar. Dulu, Kalina selalu dirundung karena fisiknya tidak seperti perempuan perempuan disana, wajahnya berjerawat, efek hormon remaja. Namun, dijadikan alat oleh mereka untuk merundungnya.

Ia selalu dibedakan, baik oleh teman, maupun keluarga. Ia selalu diasingkan, katanya malu punya anak yang gendut dan tidak terawat seperti itu, berbeda jauh dengan adiknya.

Seakan akan, orang memandangnya sebagai seonggok sampah berjiwa.

Hingga akhirnya, Kalina berkeinginan kuat. Ia merubah dirinya. Menurunkan berat badan dan merawat tubuh menjadi tujuannya, dan semua itu, berubah menjadi obsesi.

Kalina terobsesi dengan badan yang kurus, kulit yang putih, wajah kecil dan standar standar ‘ideal’ lainnya. Sampai sampai, ia rela untuk tidak makan apapun dalam kurun waktu berhari hari, meminum obat untuk mempercepat penurunan berat badannya, berolahraga yang cukup kerasa hampir setiap hari. Ini semua ia lakukan, hanya karena ucapan ucapan buruk orang terhadap penampilannya.

Setiap dirinya berkaca, ia akan merasa tidak pernah puas. Setiap ada orang yang memandanginya, ia akan merasa bahwa orang tersebut melihat dirinya gemuk. Setiap ada orang yang menawarinya makan, ia akan mudah tersinggung. Setiap sekali makan, ia akan merasa ketakutan. Takut dengan kenyataan bahwa berat badannya kembali naik.

Sampai akhirnya ia berada di titik batas, ia tumbang.

Kalina masih menangis. Mengeluarkan semua rasa sesak yang ada di dada, mengeluarkan segala rasa kesedihan, amarah, yang ia pendam selama ini.

Kalandra, melangkahkan kembali kakinya. Dengan yakin ia menghampiri Kalina yang menangis kencang, dan sesampainya ia dihadapan Kalina. Ia merengkuh tubuh yang hanya berisi tulang tersebut, ke dalam pelukannya.

Persetan dengan ketidaksopanan karena telah lancang memeluknya.

Ia hanya ingin menenangkan.

Kalandra adalah saksi bisu bagaimana Kalina dulu dirundung. Ia satu sekolah dengan Kalina dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dan selama itu pula, ia hanya bisa menyaksikan Kalina dirundung oleh teman teman sekelasnya.

Setelah lulus sekolah menengah atas, mereka tidak bertemu. Hingga akhirnya, Kalandra tahu bahwa Kalina sudah berbeda dengan Kalina terdahulu.

Bertahun tahun Kalandra merasa bersalah, merasa bersalah karena ia memilih diam. Tidak ikut merundung atau membela. Ia diam. Ia hanya menyaksikan bagaimana teman temannya, mengolok-olok Kalina.

Sekarang, mereka dipertemukan kembali, dan bagi Kalandra, saatnya ia membayar rasa bersalahnya.

Kalandra memeluknya erat, mengusap punggungnya, seakan akan ia mengatakan ‘tenang, ada aku di sini’.

Berangsur angsur, tangisan Kalina mulai mereda. Badannya masih bergetar, tapi tidak sehebat tadi. Setidaknya, usapan dan pelukan Kalandra ampuh dalam menenangkan dirinya.

“Dok … salah saya … apa?” tanyanya pelan.

“Dok … salahkah … karena … berbeda?” kembali ia bertanya.

Kalandra belum menjawab, ia masih senantiasa mengusap punggung ringkih itu.

“Dok … kalau saya … pergi … dari … duni—”

“Ga ada.” Kalandra memotong ucapan Kalina, ia paham apa yang akan Kalina ucapkan itu.

“Ga ada Kalina. Ga ada yang salah sama kamu. Ga ada yang salah karena kamu berbeda, ga ada yang salah kamu mau gemuk mau kurus, mau apapun itu, ga ada yang salah.”

“Kalina, kamu cantik.” ucap Kalandra.

*“Itu … sekara—”

“Dari dulu.”

“Dari dulu, kamu selalu cantik, di mataku. Kamu mau tau kenapa?” Ucapan lembut dari Kalandra membuat Kalina mengangguk penasaran.

“Karena hatimu.”

Jawaban Kalandra membuat Kalina terdiam.

“Kalina yang aku kenal, Kalina yang selalu membawa makanan kucing di dalam tasnya. Setiap jalan pulang, selalu berhenti dikala melihat kucing liar, dan memberikannya makanan. Kalina yang aku kenal, Kalina yang selalu membantu kakek penjual koran di belakang sekolah untuk menyebrang jalan. Kalina yang aku kenal, Kalina … yang meminjamkan payungnya kepada seseorang, karena tahu bahwa tidak segera pergi, maka orang itu akan telat datang ke tempat lesnya.”

Badan Kalina menegang. Cukup terkejut bahwa orang yang sedang memeluknya, orang yang sedang menenangkannya, orang yang setiap jam 09.20 pagi selalu datang menyimpan makanan di nakas samping tempat tidurnya, orang yang pertama kali melihatnya menangis seperti tadi itu, adalah anak laki laki yang menangis saat pulang sekolah. Ia menangis karena saat itu hujan, dan ia tidak membawa payung. Lalu Kalina yang selalu membawa payung kemanapun itu, meminjamkannya.

Kalina segera ingin melepaskan pelukannya, namun, tenaga Kalandra untuk menahan Kalina di pelukannya itu lebih besar.

“Kamu cantik Kalina, selalu. Kamu berhak menutup telingamu, menutup semua hal buruk yang akan kau dengar. Kamu berhak menjadi dirimu sendiri, ya?”

“Aku … harus gimana?”

Kalandra melepas pelukannya, ia menatap Kalina dengan memegang kedua bahu Kalina. Wajah sayunya begitu terlihat jelas, wajahnya menggambarkan keputus asaan yang sedang ia hadapi.

“Pelan pelan Kalina, cukup dengan menerima dirimu apa adanya, cintai dirimu dengan baik. Kamu istimewa. Kamu adalah kamu, seseorang yang berharga yang telah lahir ke dunia ini.”

Kalandra mengusap kepala Kalina dengan lembut, “Kamu ga sendirian lagi. Ada aku Kalina, ada aku yang senantiasa akan menemanimu, menghadapi ini.”

Ada setitik cahaya yang datang menghampiri. Ada tangan yang siap menyambut. Ada perasaan, yang mulai tumbuh.

image

Anoreksia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan berat badan yang sangat rendah, rasa takut yang berlebihan pada kenaikan berat badan, dan persepsi yang salah terhadap berat badan. Anoreksia nervosa termasuk gangguan mental yang serius dan tidak boleh didiamkan. sumber : alodokter