Jangan nanya, ya?

[Yasa’s pov]

Ekonomi pertanian, kalau kata orang orang, mata kuliah ini paling pusing, tapi entah kenapa gue suka. Gue daridulu emang suka sih sama pelajaran yang emang bikin mikir banget, kayak ngerasa otak gue tuh produktif dipake mikir.

Gue ini emang tipe anak yang suka belajar, sebut aja hobi, tapi bukan berarti gue ansos ya, gue bisa nempatin mana waktunya belajar dan main. Tapi emang sih proporsi belajar gue lebih banyak dibanding mainnya.

Gue juga anaknya lebih nyaman buat diem di rumah, dibanding nongkrong lama lama diluar ga jelas. Ga tau sih apa karena kebiasaan kali ya? mami ga ngebiasain gue buat diem main di luar lama lama, jadinya gitu deh.

Kembali lagi ke kegiatan gue di kelas, gue lagi memperhatikan dosen di depan yang lagi nerangin materi lewat ppt.

“Sampai sini ada yang mau ditanyakan?”

Gue mengangkat tangan.

“Iya, Yasa ya?”

“Eh iya bu.”

“Kamu saya kenal soalnya rajin nanya, iya Yasa mau nanya apa?”

“Kan masalah petani itu di bagian harga, kalau kayak modal gitu masuk ga ya bu ke permasalahan petani diliat dari segi ekonomi?”

Dosen gue berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah.

“Masuk dong, modal juga menjadi salah satu permasalahan yang pelik bagi para petani. Bagaimana mereka mau melanjutkan usaha jika modalnya saja tidak ada.”

“Tapi kan bu, ada dari hasil pertanian yang mereka jual?” gue kembali bertanya.

“Balik lagi ke masalah harga, yang mana harga yang mereka dapatkan itu tidak sebanding dengan apa yang mereka keluarkan. Mungkin yang kalian beli harga cabai atau tomat itu misal sekian, itu dari petaninya didapat dari harga murah. Kenapa? karena sistem rantai kita yang terlalu panjang. Dari petani, ke pengepul, ke tengkulak, ke pasar besar, pasar kecil, baru bisa sampai ke tangan konsumen. Berapa tangan yang harus mereka lewati agar produknya sampai ke kita.”

Gue mengangguk paham mendengar jawabannya.

“Belum lagi biaya kehidupan mereka, apalagi yang anaknya banyak. Makanya kenapa ga cukup ya karena itu.”

“Jadi lebih baik petani itu jualnya langsung ke konsumen ya bu? biar dapet harga yang baik, dan petani sendiri diharapkan punya modal jadi usahanya terus berputar ya bu?” kembali gue bertanya.

“Betul Yasa, tapi itu ga semudah yang diucapkan, banyak sekali keterbatasan kenapa petani ga bisa langsung jual ke konsumen seperti kita. Diskusinya bisa kita lanjut minggu depan ya, kebetulan saya ada rapat. Oh iya untuk minggu depan, presentasi yang materi minggu kemarin ok.”

Setelahnya kita semua ribut untuk bersiap pulang, selagi gue lagi membereskan alat tulis, beberapa temen kelas datang sambil nepuk bahu gue.

“Yas, minggu depan pas presentasi lo ga usah nanya ya.”

“Yas, gue tremor ga bisa jawab kalau lo nanya.”

“Yasa kalau mau nanya siapin dari sekarang terus kasih tau gue ya, biar gue cari dulu jawabannya.”

“Gue kasih dah materinya biar lo tau mau nanya apa, tapi kasih tau gue dulu.”

Apakah gue semenakutkan itu?