JAM 3
https://open.spotify.com/track/6Hii26x3qDErVitnGW8QtO?si=q-GW1abBQCO3K-06yEHmSw
Di antara semua kamar, hanya kamar Arjuna dan Hendry yang lampunya masih menyala, di jam 3 pagi ini. Di dalamnya ada Arjuna, Hendry (sudah pasti karena mereka sang pemilik kamar) ditambah dengan Laksana. Ketiganya sedang sibuk dengan laptop masing masing.
Banyak tugas yang harus mereka selesaikan ditambah deadline yang semakin dekat. Maka pilihannya, tidak mengerjakan sama sekali atau rela tidak tidur seharian.
“Capek ya kuliah.” tutur Laksana sambil terus mengetik, sesekali keningnya berkerut, merasa janggal dengan jawaban yang ia tulis.
Hendry, yang sudah berganti posisi berkali kali itu menelungkupkan kepalanya sejenak. “Capek ga kelar kelar tugasnya.”
Sedangkan Arjuna, yang anteng di atas kasur sambil terus mengetik, sesekali meregangkan tangannya itu menjawa, “Resiko, kalau ga mau capek yaudah ga usah kuliah.”
Seisi ruangan kembali fokus dengan kegiatannya masing masing, hanya suara keyboard yang ditekan yang terdengar. Hingga akhirnya…
“ANJRIT BERES!” Hendry yang ternyata lebih dulu selesai.
Bukannya tidur, mereka bertiga memilih terdiam sambil memandang langit langit, dengan posisi tiduran. Di kasur atas ada Hendry dan Arjuna. di bawah ada Laksana. Katanya males kalau harus ke atas, tanggung jadi tidur di sini aja.
“Sa.” panggil Hendry.
“Apa?”
“Lo kalau kangen Bunda lo ngapain?”
“Berdoa, terus berharap bisa ketemu, walau dalam mimpi doang.”
“Iya ya, lo jelas karena ga bisa ketemu. Jadi lewat doa doang bisanya, ga apa apa Sa. Bunda lo udah di tempat yang terbaik.”
Laksana mengangguk pelan. Kalau ditanya rindu? sudah jelas jawabannya, namun rasa rindunya tidak bisa ia utarakan, maka ia hanya akan menahannya dan mengumandangkan doa.
“Kalau lo Jun?” tanya Hendry.
“Nelfon paling atau chat ambu buat nanyain keadaannya gimana. Karena gue udah ngerantau, gue jadi ga bisa ketemu setiap hari.”
Hendry mengangguk dalam diam. Entah, rasanya ada hal yang ingin ia sampaikan namun ia bingung mengutarakannya.
“Lo sendiri gimana Hen?” tanya Laksana.
Hendry mengerjapkan matanya, disaat pikirannya berkecamuk, pertanyaan Laksana serasa membuka pintu yang ada dalam dirinya.
“Ga tau gue.” ucapnya pelan.
“Ga tau tuh, gimana maksudnya?” saut Arjuna.
“Gue ga tau gue pernah kangen sama nyokap gue apa engga.”
“Gue ga tau rasanya kayak gimana. Nyokap gue ada dan deket, tapi rasanya jauh.”
Arjuna dan Laksana mendengarkan dengan seksama. Hendry itu bukan tipikal orang yang sering cerita permasalahan dia, dan ini, kesempatan yang langka untuk mendengar apa yang Hendry rasakan.
“Gue pengen pas gue ngerasa kangen, terus gue nelfon dan chat buat nanyain kabar, gue pengen pas gue ngerasa kangen terus langsung ke Bandung buat ketemu. Tapi gimana ya … gue ga ada perasaan itu, gue ngerasa … hampa.”
“Gue tau nyokap gue sibuk karena kerjaannya, tapi gue juga pengen deket sama dia gimana layaknya hubungan seorang anak dan ibunya.”
“Gue ga pernah ngerasain hangatnya pulang ke rumah. Makanya … gue bingung sama perasaan gue sendiri kalau ditanya kayak gitu.”
“Kalau yang mereka pilih itu karir, kenapa mereka mutusin buat punya anak? kalau mereka ga bisa ngurus gue, kenapa gue harus dilahirin? Gue kan ga pernah minta. Keputusan untuk punya anak dan jadi orang tua, itu ada di tangan mereka, iya kan? tapi kenapa gue yang jadi korbannya.”
Laksana bangun dari posisi tidurnya, niatnya ingin menyalakan lampu kamar, sepertinya obrolan ini akan cukup serius dan panjang.
“Ga usah dinyalain Sa, biarin aja gelap. Tapi gue izin, gue boleh nangis ga?”
“Boleh lah kenapa minta izin segala sih? lo juga manusia biasa kali Hen, kalau mau nangis, ya nangis. Kalau mau marah ya marah, jangan nahan setiap emosi yang ada di diri lo.” Ucapan Arjuna bertepatan dengan air mata Hendry yang mulai mengalir.
“Hen, lo ga capek apa nahan itu semua? oke kalau di hadapan Kang Kav, Kang Wisnu, Kang Teo, sama Yasa. Tapi kalau di hadapan kita, lo bisa kok luapin semuanya. Lo juga ga mungkin kan nahan itu semua terus terusan, ga ada alasannya lo harus selalu jadi orang yang paling kuat. Stop buat mengatakan diri lo ga apa apa, padahal kenyataannya sebaliknya, stop buat terus terusan tersenyum padaha hati lo nangis. Lo harus lebih paham sama diri lo sendiri Hen.”
Laksana berkata panjang lebar sambil menyenderkan punggungnya ke kasur. Arjuna yang mendengar isakan dari Hendry di sebelahnya, malah ikut menangis dengan pelan. Ternyata perbincangan di jam 3 dini hari ini benar benar membuat perasaan mereka menjadi sentimental.
“Hen … emang bener kita ga minta dilahirin. Gue juga gitu. Kalau gue bisa milih, gue juga ga akan milih dilahirin kalau ternyata Bunda harus mengorbankan nyawanya. Mungkin Juna juga ada pikiran kayak gitu. Di mana kita tau kondisi dia kayak gimana, tapi semuanya pasti ada alasannya Hen. Gue percaya, pelangi bakalan cepet dateng ke kehidupan lo, gue, sama Juna. Gue percaya, segala rasa kesulitan yang kita hadapin sekarang, bakalan segera sirna. Tapi yang lo mesti inget, lo ga sendiri Hen. Lo ada kita, lo bisa cerita keluh kesah lo. Gue beneran ngomong kayak gini.”
Dan perbincangan jam 3 dini hari itu, ditutup dengan semuanya yang menangis hingga tanpa sadar, mereka terlelap dengan sendirinya.
best friend, someone you can trust with your life who has seen the best and worst of you and will be there whenever you need someone to talk to. There is a balance in the relationship between give and take. You feel so in sync with them that you can comfortably share your innermost feeings and thoughts – anonymous