Ditinggal Berdua

“TONJOK LAGI LAKSA TONJOK! BIAR ANAK YANG GA DIDIK INI BISA HANCUR GA BERSISA!”

Gue ngedenger suara pintu kamar dibuka dan terlihat Kang Kav serta yang lainnya lari ke arah dapur.

“CUMA SEGITU DOANG KEBERANIAN LO SA? APA MAU GUE YANG LANJUTIN.”

Dan tanpa gue sadari, Hendry nendang lutut gue yang bikin gue jatuh berlutut.

“HENDRY! LAKSANA! BERHENTI!” Kang Kav mulai bertindak.

[Author’s pov]

Teo, Kaivan dan Arjuna segera berlari menghampiri Laksana dan Hendry, Teo menarik Hendry, Arjuna membantu Laksana untuk berdiri.

“Kenapa? kenapa harus pake berantem kayak gini? emang ga bisa diselesaikan dengan kepala dingin?” Tanya Kaivan.

Baik Hendry, maupun Laksana tidak ada yang menjawabnya, Hendry sibuk mengatur nafasnya dan mengalihkan pandangan ke segala arah, asalkan bukan untuk bertatapan dengan Kaivan, sedangkan Laksana memilih menundukkan kepalanya dan sedikit menahan sakit di kakinya.

“Untuk sementara waktu Hendry ditemenin Teo, gue nemenin Laksana. Jun, lo di kamar gue aja ga apa apa.” Arjuna mengangguk patuh.

“Gue mau masalah ini selesai tapi ga sekarang, karena percuma. Kalian berdua lagi pada panas, yang ada malah adu jotos lagi dan ga bikin masalah kelar. Balik ke kamar masing masing semuanya.”

Teo menarik Hendry dan Kaivan membawa Laksana ke lantai atas.

Sepertinya keadaan rumah tidak akan kondusif untuk beberapa waktu.


“Kang.” Baru saja Kaivan akan memejamkan mata, suara Laksa yang memanggilnya membuat Kaivan kembali terjaga.

“Kenapa?”

“Maaf.” “Maaf udah bikin rumah kacau. Gue emang lagi ada masalah di kedai, pas nyampe rumah gue kesinggung sama kata kata Hendry, ya gue juga salah sih harusnya ga ngomong gitu.”

“Sa, makanya kenapa kalau lagi emosi itu lebih baik diem, atau kalau bisa lo menyendiri aja ga apa apa dah, daripada kayak gini malah nambah masalah.”

“Hm gue salah kang.”

“Gue ga akan memihak lo atau Hendry, di mata gue kalian berdua salah. Kalian udah dewasa, harusnya udah bisa mengontrol emosi masing masing dengan baik. Tapi gue bakalan bantu, bantu kalian buat selesein masalah ini. Gue ga mau malah ada perpecahan diantara kita semua, Sa.”

“Iya kang. Makasih.”

“Tidur sana, ga usah dulu dipikirin, besok aja lanjut dipikirinnya.”


“Kenapa Hen?” tanya Teo.

“Apanya yang kenapa kang?” Hendry sekarang sudah mulai tenang. Wajahnya pun sudah tidak semerah tadi.

“Kenapa lo nendang kakinya Laksa?”

Ditanya seperti itu Hendry diam, sejujurnya ia juga tidak punya alasan khusus kenapa ia berlaku seperti itu. Yang ia rasakan tadi hanyalah ia sangat emosi dan ia sedang mencari pelampiasan atas emosinya tersebut.

“Ga tau kang.”

“Loh kok ga tau?”

“Gue cuma....ngerasa emosi dan butuh pelampiasan. Gue ada masalah di rumah, dan pas dateng gue ngerasa kesinggung sama kata kata Laksa. Terus gue tanggepin, gue makin mancing Laksa, karena dipikiran gue saat itu, Laksa bisa jadi pelampiasan marahnya gue.”

“Lo tau lo salah?”

Hendry mengangguk cepat. “Tau kang, tau banget.”

“Lo salah karena lo malah ngelampiasin marah lo ke tempat yang salah, Hen.” Hendry kembali terdiam, tidak salah, apa yang diucapkan Teo tidak salah.

“Kang...Laksa bakal maafin gue ga?”

“Ga tau, gue bukan Laksa. Kalau mau tau, cobain aja lo ngomong ke dia besok.”

“Ih kang....”

“Kok ih? emang lo ga mau baikan sama Laksa?”

“Ya mau lah.”

“Yaudah cobain besok minta maaf sama Laksa, ga usah gengsi harus minta maaf duluan. Ya kalau dimaafin Alhamdulillah, kalau engga berarti usahanya kurang.”

“Ga guna emang nanya ke Kang Teo.”

Hendry membalikkan badannya ke arah tembok, sambil memeluk guling, perlahan matanya memejam dan tidak butuh waktu lama, Hendry sudah menjelajahi alam mimpi.

Sedangkan Teo, disebelahnya hanya tersenyum kecil melihat Hendry.

“Kalian udah dewasa, udah kenal tonjok tonjokkan, kirain hidup kalian isinya bercandaan mulu. Laksa bakal maafin lo kok Hen, begitupun sebaliknya. Lo berdua itu udah ditakdirkan jadi sohib sampe kapanpun.” Gumam Teo dengan suara pelannya.


Sarapan pagi ini dipenuhi dengan keheningan, walaupun semuanya ada di satu meja yang sama, namun tidak ada satu pun yang berani berucap.

Hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.

“Abis ini gue mau keluar, mau beli bahan makanan, pada abis.” ucap Kaivan yang telah selesai sarapan.

“Ikut.”

“Ikut.”

“Ikut.”

“Ikut.”

Arjuna, Teo, Wisnu, Yasa kompak bilang mau ikut semua.

Hendry yang mendengar itu melirik ke arah Laksa yang masih sibuk dengan sarapannya.

Kalau semua pergi, tandanya cuma dia dan Laksa doang yang ada di rumah, dan bisa dibayangkan akan secanggung apa mereka berdua. Terlebih hari ini Hendry juga sedang tidak ada mood untuk ikut pergi keluar.

Hendry hanya bisa berharap semoga Kaivan menol—

“Yaudah yang mau ikut siap siap.”

Kaivan tidak menolak.

Arjuna, Teo, Yasa dan juga Wisnu segera bangkit dari kursi dan berlari ke arah kamar masing masing, meninggalkan Kaivan, Hendry dan juga Laksana.

“Kalian berdua jagain rumah disini, ohiya daripada gabut, tolong bersihin halaman belakang, itu rumputnya udah pada tinggi. Cucian bentar lagi selesai kayaknya di mesin cuci, langsung jemur, kalau kelamaan takutnya bau. Ini piring gue nitip tolong cuciin juga. Oh iya sekalian kamar juga bisa kan tolong rapihin?”

Hendry hanya mengerjapkan matanya, sedangkan Laksa meneguk ludahnya kasar.

“Bisalah, bagi dua aja kalian biar cepet selesai.”

“Kav buru udah siap nih” panggil Wisnu.

“Oke gue pergi dulu sama yang lain, hati hati dirumah.”

Dan sekarang, tersisa Hendry dan Laksana yang saling diam di meja makan.