Bunda Terima Kasih, dari Laksana
[Author’s pov]
Pesan yang dikirimkan Ayah Laksa kemarin, yang mengatakan akan berangkat subuh itu benar. Buktinya jam 9 pagi, Ayahnya sudah sampai di depan kontrakan. Sedangkan Laksa, ia baru saja mandi karena tadi ia masih bermalas malasan di dalam kamar, sambil menonton youtube.
Ayah Laksa sekarang sedang berada di dapur, bersama anak anak yang lain, berbincang banyak hal sekalian sarapan bersama.
“Jadi yang seangkatan sama sekelas sama Laksa itu Hendry sama Juna doang berarti?” Kedua orang tersebut mengangguk bersamaan.
“Terus Yasa disini paling muda sendiri?” Yasa yang berada tepat di samping Ayah Laksa mengangguk patuh.
“Om kayak pernah liat wajah kamu deh.” ucapan Ayah Laksa mengundang atensi orang orang di sekitar meja makan.
“Iya? dimana om?” tanya Yasa.
“Kayaknya di pesawat? tapi om lupa deh soalnya cuma sekilas, dan waktu itu anaknya masih cukup muda, yang om inget. Orang tuanya nyamperin om buat bilang terima kasih, mereka duduk di first class.”
Udah pasti Yasa, apalagi first class. batin kelima pemuda.
“Inget ga om siapa orang tuanya?” Ayah Laksa mengangguk, “Syahrini sama Reino Barack.”
“Iya itu orang tua saya, yang om liat waktu itu memang saya hehe sayanya masih muda.” Ayah Laksa terkejut medengar penuturan anak lelaki ini. Pertama karena dia tidak menyangka bahwa anak yang dia sempat lihat waktu itu sudah beranjak dewasa, kedua bagaimana mungkin seorang anak yang terlahir dengan sendok emas, mau tinggal disini.
“Ya ampun benar ternyata dugaan saya. Wah sudah besar ya kamu?” Yang ditanya mengangguk sambil tersenyum lebar. Acara sarapan mereka pun dilanjut dengan obrolan ringan. Sampai akhirnya Laksana ikut bergabung bersama mereka.
kalian bisa play soundnya pas bagian ini ya
Area pemakaman siang itu cukup sepi, padahal sekarang hari Sabtu. Laksa kira, jika di hari weekend seperti ini akan banyak keluarga yang datang berziarah. Ia berjalan di samping ayahnya sambil memegang bouquet bunga mawar putih.
Sesampainya di salah satu nisan, bertuliskan Shania Aggraini binti Edi Hamdan Laksana dan ayahnya berjongkok. Dipandanginya nisan itu dengan seksama oleh Laksana. Perasaannya tak menentu, ada rasa rindu yang tidak bisa tersampaikan. Ada banyak pertanyaan di benak Laksa, seperti apakah sosok bundanya? bagaimana rasanya curhat dengan bundanya? bagaimana rasanya masakan bundanya? banyak sekali bagaimana yang Laksa ingin rasakan.
Ayah Laksa mulai memimpin untuk membacakan doa kepada sang istri. Berharap ia berada di tempat yang paling indah yang sudah disiapkan oleh Tuhan untuknya. Tidak hanya Laksa yang merasakan kerinduan, Ayah Laksa pun begitu. Teringat bagaimana hari hari bersama sang istri, bagaimana bahagianya ketika mendengar sang istri tengah mengandung. Namun, takdir berkata lain, hari itu bahagia dan sedih menjadi satu, Laksa lahir ke dunia, dan sang istri pergi meninggalkan dunia.
Hidup memang seperti itu. Tidak akan ada yang kekal abadi.
Selesai berdoa, Ayah Laksa menyiram dan menabur bunga. Setelah itu ia memanggil putranya yang sedang menunduk menahan tangis, “Laksana.” Laksa yang merasa namanya dipanggil itu, mengangkat kepalanya.
“Iya yah?”
“Selamat ulang tahun, anak hebat Ayah.”
Laksa mulai meneteskan air mata yang sejak tadi ia tahan. Menggenggam erat bouquet bunga yang ada di pelukannya. Mencoba menahan agar tangisannya tidak menimbulkan suara.
“Kehadiran Laksa di hidup Ayah adalah kado terbaik yang Ayah terima. Terima kasih karena sudah memilih Ayah dan Bunda menjadi orang tuamu.” Ayah Laksa mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya, dan mengusap matanya yang mulai basah.
“Laksa mau ngobrol sama bunda?” Laksa mengangguk pelan dengan air mata yang tak hentinya keluar. “Biar leluasa, ayah tinggal ya?” kembali, Laksa mengangguk.
Ayah Laksa berdiri dari posisinya dan pergi menjauh, meninggalkan Laksa untuk melepas rindu dengan bundanya.
“Ha—lo Bunda.” Laksa menghadap ke arah nisan, dan mulai mengelusnya.
“Bunda, di sana gimana rasanya? Laksa pernah denger katanya, kalau orang yang udah meninggal, bakalan dikasih kesempatan satu hari di setiap minggunya buat liat dunia dari atas sana. Bunda suka liat Laksa ga?” Laksana mencoba untuk tersenyum, membayangkan Bunda yang menatap dirinya dari atas sana.
“Kalau iya, Laksa seneng banget, Bun. Karena setidaknya Bunda bisa liat tumbuh kembangnya Laksa.”
“Bunda, kadang Laksa suka penasaran sama sosok Bunda yang sering diceritain Ayah sama nenek. Kata Ayah, Bunda itu wanita terhebat yang Ayah kenal, Bunda itu suka banget sama yang namanya menjahit. Ayah juga bilang, baju Laksa yang waktu bayi itu bukan beli, tapi dijahit langsung sama Bunda ...”
Laksa menghela nafas perlahan, menahan tangisnya agar ia bisa kembali berbincang dengan Bunda.
“Ada banyak hal yang Laksa pengen lakuin sama Bunda. Laksa pengen kenal secara nyata sama Bunda, Laksa pengen cobain setiap masakan Bunda. Laksa pengen nemenin Bunda kalau Bunda lagi ngejahit. Laksa pengen ...”
Laksa menundukkan kepalanya, bahunya bergetar dengan hebat, air matanya kembali turun. Laksa tak mampu meneruskan kata katanya, rasa sedih dan rindu yang begitu membuncah, membuatnya kembali menangis. Laksa ingin bertemu bundanya.
“Bunda ... maafin Laksa ... Laksa dateng kesini malah nangis.” ucapnya terpatah patah sambil terus menunduk.
Cukup lama Laksa dengan posisi seperti itu, hingga akhirnya ia bisa kembali sedikit tenang. Mengusap mata dan pipinya yang basah dengan air mata, Laksa kembali mengangkat kepalanya.
“Bunda ... Laksa mau berterima kasih sama Bunda. Terima kasih karena sudah mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan Laksa. Terima kasih karena sudah menjadi Bunda terbaiknya Laksa. Terima kasih karena sudah merawat Laksa dengan baik selama Laksa ada di kandungannya Bunda. Laksa ga salah milih Bunda sama Ayah jadi orang tuanya Laksa. Laksa sayaaaang banget sama Bunda sama Ayah.”
Laksa memajukan badannya sedikit, menyimpan bouquet bunga mawar yang ia bawa di depan nisan Bundanya. “Bunda, I love you.”
Laksa berdiri dan posisinya, sambil menatap langit yang cerah ia tersenyum.
Semoga Bunda tenang di alam sana dan di tempatkan di tempat yang paling indah. Aamiin.
“Ayah mau langsung pulang?” tanya Laksa setibanya ia dan Ayahnya di depan kontrakan.
“Iya, ayah mau langsung pulang, udah malem. Besok harus berangkat lagi.”
Sepulangnya mereka dari pemakaman tadi, mereka pergi berkeliling Kota Bandung, mengunjungi rumah nenek, dan makan bersama.
“Yaudah Laksa masuk ya, makasih Ayah udah bikin Laksa seneng hari ini.”
“Sama sama anak Ayah. Makasih juga ya udah nemenin Ayah seharian ini, rasa kngen Ayah terbayarkan jadinya.” Laksa terkekeh pelan. Sebelum keluar ia sempat mengecup tangan Ayahnya terlebih dahulu.
Mobil Ayah Laksa melaju meninggalkan Laksa yang berdiri di depan gerbang.
Laksa melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah. Ia tadi sudah berkata akan pulang agak malam, dan meminta anak anak untuk mencabut kuncinya, karena ia membawa kunci cadangan.
Sesudah memasukkan kunci dan membuka kunciannya, Laksa membuka pintu tersebut dan tiba tiba.
“SELAMAT HARI LAHIR LAKSANA ADIYATAMA.”
Kaivan, Teo, Wisnu, Hendry, Arjuna, dan juga Yasa berada di hadapannya. Kaivan yang memegang bungkusan donat yang sudah diberi lilin, begitu pun dengan Teo dan Wisnu. Hendry Arjuna dan Yasa masing masing memegang balon berwarna biru.
Bukannya tersenyum senang, Laksa kembali menangis di hadapan mereka. Yang tentunya membuat ke-enam bujang itu kaget.
Hendry, Arjuna dan Yasa langsung melempar balonnya ke sembarang arah, mereka menghampiri Laksa dan mencoba menenangkannya.
Yasa menarik pelan tangan Laksa untuk masuk ke dalam rumah. Para kakaktua sudah menyimpan donat tadi di atas meja di ruang tamu, lalu langsung bergabung menenagkan Laksa.
Mereka semua tahu, hari lahir Laksa sama dengan hari kepergian Bundanya.
“Maaf ... maafin gue ...” ucap Laksa di sela sela tangisnya. Kaivan maju dan memeluk Laksa, “Laksa, terima kasih sudah menjadi Laksa yang kuat dan hebat. Bunda pasti bangga liat Laksa di atas sana.”
Mendengar itu sontak membuat para bujang lainnya memeluk Laksa. Bahkan Hendry dan Arjuna sudah ikut menangis sejak tadi.
Hari ulang tahun Laksa terasa campur aduk, ada rasa senang dan sedih. Namun, yang pasti, Laksa merasa bersyukur, merasa bersyukur karena dikelilingi oleh orang orang yang baik dan menyayanginya.
Laksana, kamu hebat, kita semua sayang kamu.
When you are looking at your mother, you are looking at the purest love you will ever know. — Charley Benetto